Sebenarnya sebagai ummat Islam kita memiliki tahun baru sendiri yaitu tahun baru Hijriah, tahun yang dihitung mulai hijrahnya Nabi ke Madinah al Munawarah dan ditetapkan sebagai tahunnya ummat Islam sejak kepemimpinan Sayyidina Umar. Namun sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku dan agama, Indonesia sebagaimana halnya negara-negara lain di belahan dunia turut menyambut datangnya tahun baru Masehi dengan gegap gempita dan terkadang over. Ingat menjelang tahun baru 2004 sebuah pesta kembang api besar-besaran telah disiapkan dan menelan biaya ratusan juta rupiah tapi kemudian terjadi gempa tsunami di Aceh dan akhirnya karena untuk menjaga perasaan saudara kita di Aceh pesta kembang api itu digagalkan dan sebagai gantinya semua acara tahun baru di televisi diisi dengan aksi solidaritas dan penggalangan dana untuk korban tsunami Aceh meskipun masih saja ada beberapa orang pada waktu itu yang merayakan tahun baru dengan pesta musik dangdut dsb, dengan alasan karena sudah direncanakan dari jauh hari.
Terlepas dari itu semua, bagi kita yang beragama Islam okelah perayaan tahun baru Masehi kita anggap sebagai sebuah local wisdom (kearifan lokal), kita ambil sisi-sisi positifnya saja seperti mengambil pelajaran dari tahun yang telah kita lalui untuk lebih memperbaiki diri, dan bukankah itu perintah Al Qur'an : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” Q.S Al Hasyr 18.
Sebagai umat Islam sesungguhnya melakukan muhasabah annafs (introspeksi diri), tidak harus pada moment tertentu, baik itu tahun baru hijriah, masehi, hari raya iedul fitri atau iedul adha dan hari besar lainnya. Islam menganjurkan umatnya agar setiap hari, menjelang tidur, mereka melakukan introspeksi diri atau menilai sendiri segala perilaku dan perbuatan yang dilakukannya sepanjang hari. Hanya saja melakukanya pada moment tersebut bisa lebih khusyu, seperti halnya bermaaf-maafan itu akan lebih terasa di hari raya iedul fitri. Nah, begitu juga dengan moment tahun baru ini akan sangat tepat kalau kita melakukan introspeksi diri di pergantian tahun ini agar kedepan kita bisa lebih baik.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa manfaat introspeksi diri di malam tahun baru :
1. membuat kita lebih tahu akan diri kita sendiri
Imam Ghazali membagi manusia menjadi empat bagian : 1 manusia yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. 2 manusia yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. 3 manusia yang tahu bahwa dirinya tahu. 4 manusia yang tidak tahu bahwa dirinya tahu.
Dari pembagian Imam Ghazali tersebut bisa kita simpulkan bahwa : untuk golongan pertama ia termasuk manusia yang tahu diri, golongan kedua adalah tipe orang yang tidak tahu diri, golongan ketiga orang yang sadar akan kemampuan dirinya, dan golongan keempat adalah orang yang tidak sadar akan potensi dirinya. dari keempat golongan tadi yang problem adalah golongan kedua dan keempat karena masing masing tidak mengetahui kelebihan dan kekurangannya, nah! dengan introspeksi diri manusia bisa menemukan titik kelemahan atau kekurangan dalam dirinya, serta menemukan titik kelebihan yang dimilikinya. Manusia yang mengetahui dengan benar letak keburukan yang dimilikinya akan mudah menemukan jalan untuk menghilangkan keburukan itu, dan manusia yang mengetahui dengan benar letak kelebihannya akan mudah menggunakan kelebihannya itu untuk hal-hal yang baik tanpa harus merasa sombong, keduanya harus seimbang, karena jika tidak yang pertama berakibat over confident yang kedua berakibat munculnya rasa minder.
2. membuat kita lebih dewasa
kedewasaan bukan dilihat dari umur seseorang tapi dari sikapnya, berapa banyak orang yang sudah mencapai umur kepala 3 atau 4 tapi masih bersifat kekanak-kanakan, tidak bisa mengontrol diri, menahan emosi, suka menang sendiri, dan enggak mau kalah. Tapi sebaliknya banyak juga orang yang masih berusia muda tapi sudah bisa menjadi teladan bagi temannya. dengan sering melakukan introspeksi, refleksi dan kontemplasi orang akan cepat menjadi dewasa, karena dia bisa mengambil pelajaran dari pengalaman.
Orang yang selalu belajar dari pengalaman dan suka introspeksi diri biasanya proses kedewasaannya lebih cepat. semakin hari ia akan tumbuh menjadi manusia yang lebih bijaksana. Sebaliknya, orang yang cepat merasa puas merasa tidak perlu belajar lagi, manja, tidak mau dikritik dan selalu lari dari masalah akan mengalami hambatan dalam proses pendewasaannya. dalam sejarah ummat Islam kita bisa melihat contoh para sahabat dalam hal kedewasaan, misalnya sayidana Usman r.a. dengan berbesar hati dan tanpa tersinggung mau menarik pendapatnya dalam suatu kasus hukum[1] karena beliau melihat pendapat sayidina Ali r.a. lebih tepat, atau ketika sayyidina Umar membenarkan seorang wanita tua yang mengkritik isi pidataonya karena dianggap kurang tepat[2]. Rasanya suritauladan keduanya patut ditiru oleh para pemimpin kita, agar mereka bisa menjadi pemimpin yang bijaksana dan tidak arogan.
3. menyadarkan kita bahwa umur kita semakin berkurang
kita sadari atau tidak sesunguhnya setiap pergantian tahun umur kita semakin berkurang, memang secara nominal kelihatanya bertambah tapi masa berlakunya jelas semakin berkurang, semakin bertambah umur semakin berkurang kemampuan dan kekuatan kita, kita bisa perhatikan dalam dunia olahraga misalnya, semakin bertambah usia seorang atlet semakin berkurang ketangkasannya, seorang Pele adalah bintang sepakbola disaat usianya masih muda, tapi saat ini ketika usianya tidak lagi muda tidak ada satu pun club di dunia yang ingin membelinya sebagai pemain karena kemampuanya sudah berkurang seiring dengan bertambahnya usia, dan saya rasa ini berlaku pada setiap profesi, dan memang demikianlah sunnatullah yang berlaku, Allah berfirman : “Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” Q.S Yasin
Dengan melakukan introspeksi diri kita bisa menyadari, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, jabatan bisa copot, harta bisa hilang, dan yang hidup pun bisa mati, semuanya berjalan sesuai ketentuan yang Maha Kuasa.
Dari paparan diatas, hendaknya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebaiknya tahun baru disambut bukan dengan sekedar hura-hura, pawai keliling kota sambil meniup terompet dsb. Tapi hendaknya kita sisihkan sedikit waktu untuk merenung, mengintrospeksi diri, kita jadikan tahun baru sebagai moment untuk memperbaiki diri. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang pluralis, Memboikot datangnya tahun baru Masehi tentu bukan tindakan yang bijaksana, namun sebagai ummat Islam kita berkewajiban untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir hal- hal yang tidak ada manfaatnya dalam menyambut tahun baru dan menggantinya dengan yang lebih baik dan bermanfaat, dalam hal ini kita bisa mencontoh Wali songo ketika mengislamkan tanah jawa, segala bentuk tradisi masyarakat jawa tidak mereka hilangkan tapi mereka ganti substansinya. Hasilnya, Tradisi wayang, tingkepan, nyadran dll, yang dulunya merupakan tradisi hindu – budha, menjadi tradisi yang penuh dengan nilai-nilai Islam, karena prinsip mereka "yatakhallatuun walakin yatamayazun" (berbaur tapi tetap memiliki karakter). Wallahu a'lam (Rabat, 21 Desember 2004. Jam 20:35)
[1] Yaitu ketika sayyida Usman ingin merajam seorang wanita yang melahirkan anak padahal usia perkawinannya baru enam bulan karenanya wanita tersebut dianggap telah berzina, namun sayyidina Ali berpendapat seorang wanita bisa saja melahirkan dalam usia kandungan 6 bulan, dalil beliau ayat al qur'an yang berbunyi : "wahamluhu wa fisholuhu tsalatsuna sahran"
[2] Yaitu saat beliau berpidato dan menyinggung soal maskawin agar standarnya diturunkan, usul beliau ditolak oleh seorang wanita tua dengan alasan bahwa besar kecilnya maskawin adalah hak perempuan, kemudian Umar berkata : wanita ini benar dan Umar yang salah