Saturday, September 29, 2007

Antara Usaha, Do’a dan Pasrah

Oleh: Arwani Syaerozi, MA.

“Berdo’a tanpa usaha bagaikan pengemis, berusaha tanpa do’a bagaikan komunis”, adagium ini sangat merakyat, di sisi lain kita pun mendengar seruan bernada pasrah dalam menjalani kehidupan “Hidup matiku ada di tangan Tuhan”, saya yakin kebanyakan dari kita pernah mendengar ungkapan tersebut. Lantas apa pesan dari kalimat-kalimat sederhana yang sarat dengan makna ini? Sehingga gaungnya benar-benar merambah ke segenap penjuru dunia.

Entah sadar atau tidak, ternyata hari-hari kita selalu diliputi dengan beragam keinginan dan angan-angan, timbul silih berganti tidak pernah hilang, semakin hari semakin bertambah, karena inilah sebenarnya yang dinamakan dengan tabiat manusia. Potensi “tidak puas” adalah sifat dasar yang selalu melekat dalam diri kita. Munculnya keinginan erat berhubungan dengan adanya ketidak puasan, Allah SWT berfirman: “ Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir” (Qs. al Maarij: 19). Kalau kenyataanya demikian, bagaimanakah Islam menyikapi sifat dasar yang melekat dalam diri setiap manusia ini?

Keinginan dan angan-angan di sini sifatnya universal, mencakup cita-cita dan harapan. Seorang pedagang berkeinginan sukses dalam berbisnis, stok dagangannya laku kemudian meraup keuntungan, komunitas pelajar berharap lulus saat ujian sehingga cita-citanya dapat tercapai, para pemikir berangan-angan mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang damai sejahtera agar tercipta baldatun thayibah wa rabbun ghafur (gemah ripah loh jinawi). Ujung dari semuanya akan berhubungan dengan “keberhasilan” atau “kegagalan (predikat berhasil atau gagal)”.

Pada deskripsi singkat tadi, apakah hanya dengan berusaha kita bisa meraih target yang diinginkan? Adakah unsur-unsur lain yang sekiranya penting diperhatikan dalam menyikapi derasnya angan, keinginan, harapan dan cita-cita? Sebab, bukankah kita sering mendengar kabar kegagalan seorang negarawan dalam menjalankan tugasnya, padahal dia telah mencurahkan segala kemampuan. Atau kita sering mendengar kabar buruk para pelajar dalam menghadapi ujian, padahal mereka telah belajar maksimal, bahkan kita juga sering mendengar cerita orang-orang yang frustasi dan berakhir dengan bunuh diri akibat depresi saat menghadapi kegagalan. Disinilah ajaran Islam datang memberikan solusi atas fenomena di atas, dalam Islam kita dikenalkan anjuran berdo’a dan berpasrah di samping kita dituntut untuk berusaha.

Makna berusaha:

“Dan katakanlah; bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (Qs. at Taubah: 105), spirit berusaha dan berikhtiar terkandung dalam ayat ini. perintah untuk bekerja artinya perintah untuk berusaha keras dalam menggapai suatu tujuan baik duniwai maupun ukhrowi.

Berusaha adalah langkah pertama yang harus dijadikan pijakan seorang muslim dalam meraih sejuta impian dan harapan, tanpa unsur “usaha” jangan berharap orang akan bisa mewujudkan keinginannnya. Rasulullah Saw sebagai suri tauladan telah memberi contoh konkrit dalam hal ini, yaitu dengan terjun berbisnis sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.


إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Qs. ar Ra’d : 11)


artinya, Allah SWT tidak akan merubah keadaan kita selama kita tidak berusaha merubah sebab-sebab kemunduran. Kalaupun terjadi “kesuksesan” tanpa dilalui dengan proses usaha, maka hal itu termasuk dalam katagori anugerah khusus dari Allah, bagaimanapun jika Allah SWT berkehendak maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi.


إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya; jadilah ! maka terjadilah” (Qs. Yasin : 82)

Makna berdo’a:

Dalam segala aktivitas, kita dianjurkan untuk berdo’a memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT. al Qur’an menjelaskan;“Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku” (Qs. al Baqarah: 186).
Menjadi jelaslah bahwa Allah akan mendengar setiap permintaan para hamba-Nya, dan bahkan akan mengabulkan segala permintaanya.


إِنَّ اللّهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيعَادَ

Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” (Qs. Ali Imran: 9)

Namun, apa yang dimaksud dengan pengabulan setiap do’a di sini? Apakah Allah akan menuruti setiap permintaan kita (sesuai bentuk, kualitas dan kuantitas) dari apa yang kita inginkan saat berdo’a, atau memiliki makna yang lebih luas? Pakar tafsir Muhamad bin Ali as Syaukani (w: 1250 H) dalam bukunya fath al Qadir menjelaskan; pengabulan do’a bisa seketika, bisa juga ditunda, bisa sesuai dengan apa yang terlintas saat berdo’a, atau bentuk lain yang lebih bermanfaat bagi si pendo’a Rasulullah Saw bersabda:


مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ الله َبِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيْعَةُ رَحْمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثِ خِصَالٍ: إِمَّا أَنْ يَجْعَلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يُدَخٍّرَ لَهُ فِيْ الآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يُصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوْءِ مِثْلَهَا.


Tidak ada seorang muslim yang berdo’a memohon kepada Allah, yang do’anya tidak mengandung unsur dosa dan pemutusan hubungan persaudaraan, kecuali Allah akan mengabulkan dengan tiga kemungkinan; memberikan apa yang dinginkan, disimpan (pahalanya) hingga di alam akhirat, atau diselamatkan dari bahaya yang mengancam“. (HR. Bukhori).

Makna berpasrah:

Di antara ayat al Qur’an yang menjelaskan tentang urgensi tawakkal (berpasrah) bagi pribadi muslim dalam menjalani kehidupan adalah firman Allah dalam surat at Talaq:


وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرً

Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya, sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (Qs. at Talaq: 3)

Dikisahkan, sufi besar Ibrahim bin Adham bertemu dengan seorang pemuda yang tampak gelisah, beliau berkata: saya akan bertanya tentang tiga hal: 1- apakah ada sesuatu di alam ini terjadi tanpa kehendak dari Allah?, Pemuda menjawab: tidak ada. 2- apakah rizkimu bisa berkurang dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah?, Pemuda menjawab: tidak, 3- apakah ajalmu bisa berkurang dari tanggal yang telah ditetapkan oleh Allah? Pemuda menjawab: tidak mungkin, kemudian Ibrahim bin Adham berkata: kalau begitu kamu harus mengkhawatirkan apa? Namun, tawakal (berpasrah) harus diposisikan setelah proses usaha dan berdo’a, hal ini sebagai antisipasi agar kita tidak berburuk sangka terhadap Allah SWT (atas segala ketetapan-Nya), dengan berpasrah saat menunggu hasil jerih payah dan usaha keras, kita diarahkan kepada dua hal positif, yaitu; bersyukur saat menemukan kesuksesan, dan bersabar saat menghadapi kegagalan. Di sinilah Rasulullah Saw bersabda: “saya kagum dengan keadaan orang Islam, semuanya istimewa; ketika sukses mereka bersyukur, dan ketika gagal mereka bersabar” (HR. Muslim).

Kesimpulan:

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa; dalam menjalani kehidupan di alam fana, kita dianjurkan berusaha keras untuk merealisasikan keinginan dan cita-cita, hal ini tentunya dibarengi dengan berdo’a memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT, kemudian apapun hasil dari usaha keras yang telah kita curahkan, semuanya kita kembalikan kepada Allah SWT. Saat usaha kita berhasil kita tidak lupa daratan, begitu juga saat usaha gagal, kita tidak dihinggapi rasa frustasi dan kekecewaan. Yang demikian inilah sebagai bentuk penyelarasan antara tiga hal yang ditekankan dalam ajaran Islam; yaitu berusaha, berdo’a dan berpasrah.

“Biarkan waktu berlalu dengan segala suka dukanya, lapangkan jiwa dalam menghadapi keputusan Tuhan. Janganlah bersedih karena kejadian yang menyakitkan, sebab segala peristiwa di dunia tidak ada yang kekal. Dan jadilah dirimu manusia yang kebal terhadap cobaan dan ancaman, namun sikap perilakumu tetap pemaaf dan setia“ (Imam Syafi’I (w: 204 H) )
Wallahu A’lam

Sunday, September 23, 2007

Reaktualisasi Konsep Pelarangan Kemunkaran

Oleh: Arip Rahman, DESA.


Salah satu ciri ummat Islam dinyatakan sebagai ummat terbaik adalah karena ummat ini memiliki kewajiban risalah dakwah - amar ma’ruf dan nahi munkar- yang tidak dimiliki oleh ummat lainnya (QS-3 :104). Dalam Islam barometer keimanan seseorang diukur berdasarkan kepada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, antara lain terutama dengan menjalankan kewajiban risalah dakwah tersebut (QS- 49 : 13). Berbeda dengan Yahudi yang mendeklarasikan sebagai bangsa pilihan karena mereka berasal dari keturunan utama para Nabi yang diutus ke dunia.

Tentunya seseorang akan menjadi muslim paripurna apabila selalu menjalankan risalah dakwah di atas, bukan hanya untuk kepentingan individu tetapi juga bagi kepentingan kolektif. Namun dia juga harus memiliki perhatian dan sensitif tinggi untuk saling menasehati dan bersabar dalam ketaqwaan, guna meningkatkan dan membentuk perbaikan mutu kesabaran dan ketaqwaan sesama ummat tetap terjaga.

Kalau kita cermati beberapa kandungan ayat suci Al-Quran terutama yang berkaitan dengan topik kali ini, Allah SWT memuji para pelaku penegak risalah dimaksud, dan sebaliknya Dia mencela orang-orang yang tidak mengindahkan anjurannya. Allah SWT berfirman, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan


Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka selalu durhaka dan melampuai batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu” (QS - 4 : 78-79).
Semua yang dibenci dan diharamkan Syari’at adalah kemunkaran. Berkenaan dengan pelarangan kemunkaran adalah menarik sekali untuk reaktualisasi pemahaman konsep tersebut terutama pemahaman konsep nahi munkar yang terdapat dalam sebuah hadist yang cukup populer di masyarakat, berbunyi :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ،فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ .

Artinya : “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, maka barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan tangannya), hendaklah ia mengubah dengan ucapannya, dan barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan ucapnya), maka hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (HR. Muslim).

Ketidaktepatan pemahaman hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini terjadi di kalangan umum yang memandang bahwa pengubahan kemunkaran merupakan kewajiban setiap muslim sesuai dengan tartib dan urutan teks hadist, yaitu: tangan, lisan dan hati. Ringkasnya, setiap muslim hendaknya berupaya semaksimal mungkin untuk menghentikan kemunkaran dengan tangannya. Apabila tidak mampu dengan tangan, maka dengan lisannya dan apabila tidak mampu juga, maka cukuplah hati kita mengingkari dan menolaknya, bukan justru mendukungnya.

Memang perintah amar ma’ruf nahi munkar hukumnya wajibul ain. Namun pemahaman tersebut, tampaknya perlu dikaji ulang karena terdapat kesalahan pada saat mengamalkannya hadist ini, walaupun niat awalnya benar. Namun tidak semua niat yang benar membuahkan hasil yang benar dan diterima di sisi-Nya. Misalkan dengan berlandaskan hadist ini, sekelompok melihat pusat tempat kemunkaran kemudian mereka melakukan sweeping dengan membawa bermacam senjata tajam untuk menghancurkan tempat tersebut dengan kekuatan tangan–perubahan dilakukan dengan tangan sesuai tartib teks hadist-.

Kejadian dimaksud harus dibayar mahal karena selain menyebabkan anarkhi sehingga menelan korban dan stabilitas negara terganggu seperti yang dilakukan oleh beberapa oknum kelompok tertentu. Payahnya, disamping mencoreng reputasi ummat terutama pasca peiliputan media lokal maupun internasional pada saat anarkhi, sekilas terkesan seolah-olah ummat Islam lebih mengutamakan kekerasan dalam pengampaian sasaran dan tujuannya.

Maka untuk menghindari hal yang tidak diharapkan, seyogyanya bentuk perintah dari hadist di atas adalah untuk -مِنْكُمْ- di antara kalian- yaitu pengkhususan. Contohnya, barang siapa di antara kalian melihat orang sakit, maka obatilah - tentunya setelah ada arahan dan anjuran dari dokter. Atau barang siapa yang melihat mobil melaju kencang melebihi batasan kecepatan yang ditentukan, maka polisi berkewajiban menghentikan aksi tersebut. Mungkin salah satu syarat penerapan hadist ini adalah hendaknya seseorang memiliki kemampuan untuk melarang kemunkaran dengan ketiga media tersebut. Jadi tidak semua orang dapat menerapkan hadist di atas sekehendak hati ber-nahi munkar dilakukan secara tartib agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Tangan lebih kuat dari pada lisan, lisan lebih kuat dari pada hati, tampaknya tidak selalu tepat dengan ke nyataan. Padahal yang namanya keimanan sejatinya bersemayan dalam hati dan refleksinya dalam perbuatan anggota tubuh, baik itu dengan menggunakan tindakan tangan maupun ucapan lisan. Dengan demikian, maka hati lebih kuat dari pada keduanya (tangan dan lisan) karena hatilah yang mengerakan keduanya.

Kalau kembali kepada hadist di atas secara utuh, dapat disimak bahwa isim isyarah/demonstrative pronouns َذَلِكَ yang bermakna itu bukan ini, menunjukan kepada yang jauh-lil ba’id yaitu tangan- bukan kepada yang dekat –lil qhorib-, yaitu hati. Kenapa demikian? karena sesungguhnya hati yang terkuat jika berkaitan erat dengan Allah SWT, maka pada saat seorang berdoa akan dikabulkan doanya antara lain apabila niat dalam hatinya kuat/khusyu’. Dengan demikian hati harus lebih kuat dan lebih berpengaruh melebihi kekuatan tangan dan lisan.

Berdasarkan pengalaman untuk masalah ini, tidak selamanya media pelarangan nahi munkar dilakukan secara tartib. Hal itu disesuaikan dengan kadar besar kecilnya kemunkaran, bisa jadi langsung dengan tindakan ucapan (lisan), kemudian hati dan terakhir dengan mengunakan aparat Pemerintah (tangan), yang tentunya memerlukan proses dan pengamatan yang lebih arif sesuai dengan kondisi dan media mana yang harus diutamakan.

Namun pelarangan kemunkaran dapat dilakukan secara tartib–tangan, lisan dan hati-, tentunya harus sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan oleh ulama. Yaitu dengan landasan bahwa bentuk isim mausul dan istifham inkari/kata sambung -مَنْ man- tidak ditujukan untuk semua kelompok dalam satu paket dapat menggunakan media pelarangan kemunkaran. Adapun klasifikasi orang yang dapat bertindak dengan ketiga media tersebut adalah :
Pertama: kalimat ‘hendaklah ia mengubah dengan tangannya’ adalah dikhususkan penguasa atau pemerintah, kedua: kalimat ‘maka barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan tangannya) hendaklah ia mengubah dengan ucapannya’ ini ditujukan bagi ulama termasuk tholibul ilmi –yang memahami agama dengan baik- dan ketiga: kalimat ‘barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan ucapnya) maka hendaklah ia mengubah dengan hatinya’ ini dapat dilakukan oleh semua unsur ummat tanpa pengecualian asal memenuhi syarat taklif.

Selanjutnya bahwa kadar atau ukuran kemunkaran kecil dan besar serta pengaruhnya tentunya akan berbeda. Misalkan kewajiban bapak memerintahkan anaknya yang berusia 10 tahun untuk mendirikan sholat fardhu. Apabila si anak dalam usia tersebut belum terbiasa sholat –meninggalkan sholat adalah bentuk kemunkaran- maka si bapak sesuai perintah Rasulullah SAW dapat memukul (pukulan yang tidak menyakitkan) anak tersebut jika meninggalkan kewajiban sholat. Dalam kasus semisal itu, dapat digunakan ketiga media nahi munkar karena kadar kemunkarannya tidak terlalu besar karena semua orang tua kemungkinan besar dapat bernahi munkar yang dilakukan anaknya.

Adapun berkenaan dengan kemunkaran kolektif (Bar dan Night Club) yang kadar kemunkarannya sangat besar menurut pandangan Syari’at, maka yang memiliki otoritas bertindak untuk mengubah kemunkaran tersebut adalah yang memiliki kemampuan, yaitu penguasa atau pemerintah. Apabila dalam kemunkaran semacam ini yang bertindak perorangan atau sekelompok non-pemerintah, dikuawatirkan akan menimbulkan kemunkaran yang lebih besar, dan justeru dalam pencegahan terhadap sebuah kemunkaran menimbulkan fitnah yang lebih besar dan dapat memicu pertumpahan darah.

Akhirul kalam, ketidaktepatan memahami hadist di atas telah menyebabkan jatuh korban manusia dan mengakibatkan adanya ancaman rasa takut akibat berbagai aksi kekerasan. Untuk itu diperlukan reaktulisasi pemahaman hadist di atas secara profesional, agar masa kelabu ummat Islam pada saat sekarang, kiranya tidak akan dialami lama dan gelar predikat Sebaik-Baiknya Ummat tetap layak disandang oleh ummat ini sebagai pelaku utama pengemban misi dakwah.

Friday, September 14, 2007

Hadits dan Ekonomi

Oleh : Muhammad Yusuf Siddik

Sekilas terasa sedikit aneh jika kita menggandengkan antara Hadis Rasul yang selalu dikenal sebagai acuan kita dalam beribadah dengan ekonomi yang lebih condong kepada keduniaan. Keterasingan ini memang memiliki alasan tersendiri karena umat Islam Indonesia pada khususnya dan umat Islam global pada umumnya terlalu lama dipaksa atau terpaksa memisahkan Islam dari segenap kehidupan bisnis dan ekonominya. Namun jika ditelusuri lebih dalam, banyak sekali nilai yang disampaikan oleh Rasulullah berkaitan erat dengan upaya peningkatan taraf hidup masyarakat guna tercipta moslem society yang berperadaban dan memiliki ekonomi maju.

1. Rasulullah mengenalkan istilah itqan yang lebih tepat jika diterjemahkan dengan profesionalitas. Kita dituntut untuk mampu bersaing di kancah perekonomian dunia yang semakin hari semakin mengglobal dan tanpa batas. Kita akan terpuruk oleh desakan negara-negara maju jika kita tidak memiliki profesionalitas tinggi dan selalu mengandalkan tenaga profesional asing dan barang impor.

2. Rasulullah juga melarang umatnya hidup dengan cara « konsumtif /berlebihan». Ini juga termasuk yang paling vital dalam membangun taraf hidup masyarakat. Sebab cara hidup yang berlebihan membuat manusia tidak mampu memilah kebutuhan dan mengklompokkannya ke dalam skala prioritas.

3. Hidup yang produktif. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk selalu bekerja untuk keduniaan seolah-olah kita akan hidup selama-lamanya. Beliau menggandengkan 3 kata yaitu ; kerja keduniaan, hidup dan selama-lamanya (masa depan) yang berarti, kita tidak hanya dituntut untuk bekerja, tapi bekerja yang menghasilkan (produktif) dan berwawasan ke depan.

4. Rasulullah menganjurkan kita untuk membagi perut menjadi 3 bagian, 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman dan 1/3 lagi untuk pernafasan. Anjuran ini memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi jika kita terapkan dalam kehidupan finansial seseorang. Penghasilan kita hendaknya dibagi kepada 3 yaitu, 1/3 untuk kebutuhan primer, 1/3 untuk kebutuhan skunder dan 1/3 untuk menabung (bernafas/kebutuhan insidentil).

5. Beliau juga mewanti-wanti kita agar tidak terjerat hutang, dan berupaya semaksimal mungkin untuk segera melunasi. Bahkan dalam sebuah haditsnya beliau mengajarkan kita untuk meminta perlindungan Allah SWT dari sifat pengecut, bakhil, lemah, pemalas dan terbelit hutang. Pesan ini jika benar-benar direnungkan olah penguasa negeri kita tercinta, Indonesia akan mampu melepaskan diri dari krisis ekonomi yang melanda. Sebab faktor utama penyebab terpuruknya Indonesia ke dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, adanya tunggakan hutang yang berupa dolar, sementara rupiah jatuh pada posisi yang paling rendah sepanjang sejarah.

6. Rasulullah juga menganjurkan kita untuk berpetualang, menjelajahi dunia dan mengenal bahasa asing sebagai anjuran agar kita memiliki orientasi ekspor dalam berdagang. Hal ini tidak hanya dianjurkan beliau dalam kata-kata, namun dibuktikan dalam perbuatan saat beliau berdagang dari Mekkah ke Syam dengan membawa dagangan saudagar « Khadidjah ». Pesan ini juga hendaknya menjadi renungan kita, sebab menurut catatan Econit pada semester awal 2001 laju pertumbuhan impor Indonesia tak kurang dari 30 persen sementara pertumbuhan ekspor hanya 7-8 persen. Adanya net ekspor yang negatif ini sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada umumnya (Republika, 5/9/2001).

7. Baginda Rasul juga melarang kita membiarkan lahan terbengkalai, mati tanpa dimanfaatkan dengan bercocok tanam. Bahkan lahan yang belum dikenal pemiliknyapun boleh kita tanami, selagi belum ada yang mengakui kepemilikannnya. Ironis sekali, Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan yang sangat luas, namun ternyata untuk kebutuhan sehari-hari saja masih mengimpor dari luar.

8. Beliau juga menganjurkan kita berbisnis, bahkan dalam hadits beliau yang dikutip Mawardi « usaha yang paling diberkati Allah adalah berdagang ». Dan ini terbukti, bisnis adalah lahan yang paling menguntungkan dan menjanjikan.
Masih banyak prinsip-prinsip ekonomi yang gariskan oleh Rasulullah lewat hadits-hadits beliau yang tidak mungkin dijabarkan dalam artikel kecil, namun perlu dibahas lebih mendalam oleh ekonom-ekonom yang berwawasan keislaman. Wallahu a’lam

Saturday, September 08, 2007

"Generasi Rabbani", Generasi Anti Kekerasan

Oleh : A. Ridho Al Mundziry, DESA

Dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca-tsunami di Aceh dan sekitar yang disusul dengan berbagai bencana di beberapa daerah di Tanah Air, paling tidak ada dua "penderitaan" yang dialami oleh bangsa Indonesia, khususnya anak-anak.

Pertama, kemiskinan konvensional. Penderitaan anak-anak Indonesia disebabkan orangtuanya miskin secara ekonomi. Kekurangan sandang, pangan, dan papan menyertai kehidupan sehari-harinya. Usia yang mestinya mereka gunakan untuk belajar di sekolah-sebagaimana yang dialami anak-anak pada umumnya-mereka gunakan untuk membantu orangtuanya mencari nafkah.

Kedua, menderita karena musibah. Pasca-tsunami di Aceh dan sekitarnya, di beberapa daerah di Tanah Air diterpa bencana berupa kekeringan, banjir, gempa, gunung meletus, dan lain-lain. Inilah deretan peristiwa yang datang tiba-tiba. Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya menimpa orang-orang miskin, tetapi juga orang kaya. Anak-anak yang semula berlimang kesenangan dalam "pelukan" orangtua yang ekonominya mapan, tiba-tiba jatuh miskin. Sedikit banyak, bencana-bencana itu menimbulkan keprihatinan dan trauma. Secara psikologis, perasaan dan ketenteraman jiwa anak-anak akan terganggu.

Fitrah Manusia

Dua "penderitaan" yang kini dialami oleh anak-anak Indonesia harus segera diatasi agar perkembangan dan pertumbuhannya berjalan normal, terutama soal pendidikannya. Mereka harus dilatih dan dididik menurut minat dan bakat. Anak-anak harus disiapkan menjadi penerus perjuangan bangsa dengan berbagai ketererampilan yang kelak bisa menopang kehidupannya. Menyiapkan generasi muda yang tangguh merupakan kewajiban orangtua dan seluruh komponen bangsa. Bahkan kita harus khawatir jika kelak meninggalkan generasi yang lemah, baik mental maupun moralnya (QS An-Nisa [4]: 9).

Dalam ayat lain disebutkan bahwa mencintai anak dan harta benda merupakan fitrah manusia serta anak dan harta yang "disalehkan" akan bisa dipetik manfaatnya (QS Al-Kahfi [18]: 46). Itu semua merupakan tabungan yang akan kita dapatkan kelak di akhirat. Harta yang disedekahkan dan anak-anak yang didik menjadi saleh akan menjadi kebajikan yang sangat istimewa. Keistimewaan anak saleh terletak pada doa dan permohonan ampun mereka untuk kedua orangtuanya. Lain halnya dengan anak yang durhaka. Mereka bukannya akan mengangkat kedudukan orangtua, malah jadi beban pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Dalam Al-Quran terdapat kisah mengenai cita-cita dan harapan istri Imran terhadap anaknya ketika masih dalam kandungan (QS Ali Imran [3]: 35). Nazar mulia istri Imran adalah tekadnya untuk menjadikan anak yang dikandungnya kelak itu lahir, akan ia jadikan muharrar, seorang anak saleh, yang tidak disibukkan oleh persoalan-persoalan duniawi, tetapi secara khusus mengonsentrasikan diri mendalami agama ("ulama"). Inilah sebuah cita-cita dan harapan orangtua yang patut kita teladani. Oleh karena itu, di antara sekian banyak anak yang kita miliki, salah satunya harus ada yang mengkhususkan diri untuk mempelajari agama.

Generasi Rabbani

Generasi yang memiliki ilmu yang memadai dan kepribadian yang saleh, dalam bahasa Al-Quran itu disebut "generasi rabbani" (QS Ali Imran [3]: 79). Tidak banyak memang orang yang mampu menyiapkan generasi berilmu dan bertakwa. Bahkan banyak yang mengabaikan. Banyak orang yang bercita-cita memiliki generasi yang baik, yang bisa melanjutkan perjuangan membangun bangsa dan negara, namun sedikit sekali yang sukses. Langkah-langkah mendidik anak yang sehat jasmani dan sehat rohaninya, paling tidak bisa kita temukan dari pola yang diterapkan oleh Luqman Al-Hakim. Ia adalah seorang bijak yang namanya diabadikan dalam Al-Quran berkat nasihat-nasihatnya terhadap anaknya.

Ada empat langkah yang ditempuh Luqman Al-Hakim dalam mendidik anak, yaitu:
(a) menanamkan dan memantapkan nilai-nilai akidah serta terbebas dari kemusyrikan. ini adalah landasan utama keberagamaan generasi kita (QS Luqman [31]: 13),

(b) menyuruh berbuat baik kepada orang tua (QS Luqman [31]: 14),

(c) menyuruh salat dan menganjurkan bersabar dalam beramar makruf nahi munkar (QS Luqman [31]: 17), dan

(d) menanamkan sikap-sikap dan perangai terpuji, seperti tidak boleh sombong dan angkuh baik dalam ucapan maupun tindakan (QS Luqman [31]: 18-19).

Itulah dasar-dasar dan tahapan-tahapan pendidikan yang diajarkan Luqman kepada anaknya. Semuanya itu memang sangat sistematis. Mulai dari yang utama, yaitu mengenai dasar-dasar keimanan, hingga akhlak sehari-hari, cara berjalan dan bertutur kata. Jika seorang anak telah memiliki dasar iman yang kuat dan sifat-sifat pribadi yang terpuji, maka generasi rabbani yang kita dambakan akan terwujud. Dengan demikian, masa depan bangsa hanya dapat dipercayakan kepada anak-anak yang cerdas, terampil dan bermoral. Jika selama ini pendidikan hanya berorientasi pada kecerdasan dan keterampilan, harus ditambah dengan orientasi pada keluruhan budi pekerti. Sebab, carut marutnya bangsa ini bukan karena manusia Indonesia tidak cerdas atau tidak terampil, tetapi karena sedikitnya orang yang bermoral atau punya nurani. Penekanan pada pendidikan yang bermoral agama menjadi sangat penting dan karena itu pula, cita-cita istri Imran dan pola pendidikan terhadap anak yang dipraktikkan Lukman seperti yang telah dijelaskan di atas patut kita teladani dan terapkan. Generasi kaum Muslim yang dapat dijadikan panutan dan dambaan umat masa depan adalah mereka menguasai iptek, kuat imtak, dan anti-kekerasan.

Pesiapan menyambut Ramadhan

Oleh : Achmad Suprapto

Bulan Sya’ban akan meninggalkan kita. Insya Allah, pada kamis depan, kita akan menyambut bulan Ramadhan yang penuh keberkahan. Maka dari itu marilah kita menilai, apakah persiapan kita untuk menghadapi bulan Ramadhan? Apakah persediaan kita untuk menyambut bulan puasa?
Allah s.w.t berfirman dalam surah Al-Baqarah, ayat 183:

يأيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".

Dari ayat di atas, jelas untuk kita bahwa Allah s.w.t mensyariatkan puasa pada bulan Ramadhan, tujuannya adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertaqwa. Maka perlu kita buat persediaan agar apabila tiba bulan Ramadhan, dan kita menunaikan kewajiban berpuasa, kita akan menjadi orang yang bertaqwa. Janganlah sekali-kali kita menyangka bahwa dengan berpuasa saja pada bulan Ramadhan, tanpa membuat persediaan, kita akan menjadi orang yang bertaqwa.

Apakah persiapan yang perlu kita lakukan untuk menghadapi bulan Ramadhan? Apakah persiadaan untuk menyambut kehadiran bulan yang penuh dengan keberkahan ini? Persiapan pertama adalah persiapan fisik. Ia perlu karena kita akan menggunakan tenaga kita untuk berpuasa sepanjang hari pada bulan Ramadhan. Perut kita tidak akan diisi pada siangnya. Dan kita akan menggunakan tenaga untuk mengerjakan sholat Terawih pada malamnya. Juga, selama sebulan lamanya, kita akan bangun sebelum Subuh untuk makan sahur. Perubahan-perubahan ini memerlukan persiapan fisik yang baik.

Berapa ramai dari kalangan kita yang merasa berat berpuasa pada awal-awal Ramadan. Tetapi hilang perasaan tersebut pada akhir-akhir Ramadan. Ini adalah kerana pada awal Ramadan tubuh badan kita masih lagi belum cukup bersedia untuk menghadapi perubahan yang dituntut untuk berpuasa. Manakala pada akhir Ramadan pula, tubuh badan kita sudah membuat penyesuaian fisik untuk ibadat puasa. Sehinggakan kita tidak merasa berat untuk berpuasa.

Maka, apakah persiapan fisik yang boleh kita lakukan? Pertama, latihkan diri memakan sarapan seawal mungkin. Beratkan sedikit sarapan tersebut. Ini sebagai persiapan untuk sahur kelak ketika Ramadhan. Kemudian, apabila tiba waktu makan siang hari, kurangi kawuntitas makanannya. Ambilah makan siang hari yang ringan. Ini agar membiasakan perut kita untuk menghadapi puasa kelak. Dan akhirnya, untuk makan malam, jangan makan terlalu berat atau terlalu banyak. Karena apabila kita berpuasa kelak, Islam menganjurkan agar kita berbuka puasa dengan makanan ringan. Ini agar dapat membantu kita melaksanakan ibadat pada waktu malam. Makanan yang berat bukan saja menyebabkan kita merasa malas untuk mengerjakan ibadat, malah juga akan membawa mudarat atau bahaya pada jasmani kita.

Kita juga boleh melatih diri kita dengan tidur lebih awal, dan bangun sebelum waktu Subuh. Waktu tidur perlu dijaga. Janganlah kita jadikan bulan Ramadhan kelak sebagai alasan untuk kita merasa lelah atau ngantuk pada siang harinya, lantaran tidak cukup tidur. Mereka yang tidak cukup tidur adalah bermula dari kekurangan mereka sendiri. Karena mereka tidak melatih diri mereka tidur lebih awal. Sedangkan mereka nanti perlu bangun lebih awal untuk makan sahur. Apabila seseorang itu tidur lewat, dan kemudian bangun lewat sehingga makan sahur, maka itulah yang menyebabkan seseorang itu merasa letih pada siang harinya. Karenab mereka berpuasa tanpa bekal makanan di perutnya. Rasulullah s.a.w bersabda:

تسحروا فإت في السحور بركة

Artinya: "Makan sahurlah, karena pada sahur itu ada keberkahan". (Hadith riwayat Bukhari)

Persiapan kedua yang perlu kita lakukan adalah persiapan mental. Ini termasuk menyematkan dalam diri kita keyakinan bahwa kita akan mampu berpuasa pada bulan Ramadhan dengan sukses. Bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang khusus untuk kita, umat Nabi Muhammad s.a.w. Bulan yang datang hanya setahun sekali saja. Maka kita tanamkan dalam diri kita kegembiraan menyambut bulan Ramadhan yang penuh rahmat ini.

Apabila kita sudah mengetahui persiapan fisik dan mental, dan kita berkomitmen untuk melaksanakannya, ketahuilah bahwa persiapan-persiapan tersebut tidak akan sukses tanpa seizin dan keberkahan dari Allah s.w.t. Maka, untuk menjadikan persiapan-persiapan fisik dan mental itu sukses dilaksanakan, kita perlu juga membuat persiapan ketiga. Iaitu persiapan rohani. Malah, inilah persiapan yang paling penting.

Persiapan rohani artinya, kita mensucikan jiwa kita dari segala kotoran. Dan menghiasinya dengan segala kebaikan. Orang yang menyambut kehadiran Aidilfitri akan membersihkan rumahnya. Dan menghiasinya dengan perhiasan. Sekiranya itu yang dilakukan untuk sesuatu benda di dunia ini, yang akan ditinggalkan apabila mati kelak, apatah lagi hati dan jiwa kita yang akan kekal bersama kita sehingga mati kelak? Tidakkah terlebih penting untuk kita membersihkan dan menghiasi hati kita untuk menyambut bulan Ramadhan?.

Membersihkan hati boleh dilakukan dengan melakukan taubat atas dosa-dosa yang lalu. Dan penghiasan hati boleh dilakukan dengan meningkatkan lagi kwalitas dan kuantiti ibadat kita. Semoga dengan demikian, Allah s.w.t akan membantu kita menjalani ibadat dalam bulan Ramadhan dengan lebih baik lagi dari tahun-tahun yang yang lalu. Dan semoga dengan demikian, kita akan mengakhiri bulan Ramadhan sebagai orang-orang yang bertaqwa, yang sukses dunia dan akhirat, amiin.