Saturday, September 27, 2008

MERAIH CITA-CITA RAMADHAN

Oleh: Helmi Basri

Di saat menjalani kehidupan dunia kita haruslah memiliki sebuah cita-cita. Hidup tanpa cita-cita adalah hidup yang tidak terarah, hidup yang tidak punya prioritas dalam beraktifitas, bahkan hidup yang tidak mampu menghargai makna dari kehidupan itu sendiri. Kalau memang demikian, maka pada hakekatnya perjalanan waktu dalam kehidupan ini hanya merupakan proses menuju pencapaian cita-cita tersebut.

Sebagai seorang muslim haruslah memiliki cita-cita yang islami, sebuah cita-cita yang tidak dimonopoli oleh dan untuk kepuasan pribadi serta bersifat sesaat, akan tetapi cita-cita yang selalu berorientasi jauh kedepan serta mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Untuk itu cita-cita kita haruslah religius sekaligus humanis. Cita-cita seperti itulah yang diharapkan dari setiap individu muslim melalui pelaksanaan ibadah Ramadhan.

Cita- Cita Ramadhan
Di dalam al Qur’an terdapat lima ayat secara berurutan yang berbicara secara lengkap tentang ibadah puasa dalam pengertian terminologi Syar’i, yaitu pada surat Al Baqaroh dari ayat 183 sampai ayat 187. Rangkaian ayat-ayat ini merupakan satu-satunya ayat al Qur’an yang berbicara secara lengkap dan terperinci tentang berbagai permasalahan ibadah puasa, mulai dari hukum dan tujuan pelaksanaannya, cara dan batas waktunya, pantang larang yang harus dihindari saat melaksanakannya, serta bagaimana cara mengganti puasa bagi orang yang tidak sanggup mengerjakannya. Siapa yang ingin memahami permasalahan puasa secara utuh maka pahamilah lima ayat tersebut dengan baik.

Salah satu sisi terpenting dari kandungan lima ayat tersebut adalah muatan cita-cita yang diharapkan dari pelaksanaan ibadah puasa, yang dalam hal ini bisa kita kelompokkan menjadi tiga cita-cita besar, yaitu:
Pertama: لعلكم تتقون" “ (menjadi insan bertaqwa)
Sasaran utama yang ingin dicapai dari ibadah puasa adalah melahirkan sosok- sosok pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT. Taqwa adalah upaya untuk selalu membentengi diri dari berbagai bentuk penyimpangan dari aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, agar tidak terjerumus dan terlanjur salah.

Taqwa adalah suatu kondisi iman dan semangat spiritual yang harus selalu terpatri dalam jiwa seseorang, agar secara berkesinambungan ia selalu merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap gerak langkah aktifitas yang dilakukannya, sehingga dengannya ia termotivasi untuk tetap taat dan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana ia juga akan selalu berusaha untuk menghindari duri-duri di jalan kehidupan. Betapa indahnya perumpamaan yang diberikan oleh Ubay bin Ka’ab ketika beliau ditanya oleh Umar bin Khattab tentang hakikat taqwa. Ketika itu Ubay balik bertanya: “wahai Amirul mukminin, apa yang anda lakukan di saat anda melewati jalan yang penuh duri? Umar manjawab: saya akan meneguhkan pandangan agar langkah kakiku tidak menginjak duri, lalu Ubay berkata: wahai amirulmukminin itulah taqwa.”

Apabila sifat taqwa itu sudah tumbuh subur dalam jiwa seseorang maka ia akan selalu rela dan senang untuk menerima dan melaksanakan aturan Allah, apapun konsekwensi yang akan dihadapinya, meskipun akan mengorbankan sesuatu yang paling dia cintai, atas nama cinta kepada Allah dan Rasulnya. Jika itu berhasil ia lakukan, maka saat itu ia sedang merayakan puncak kemenangan spritualnya.

Semangat ketaqwaan seperti itulah yang diciptakan oleh ibadah puasa, karena dengan berpuasa seseorang dituntut untuk selalu dalam suasana jiwa yang dekat kepada Allah SWT, sebagaimana ia dituntut untuk menghargai waktu agar bisa meraih sekecil apapun peluang ibadah, serta menghindari sekecil apapun peluang dosa yang akan bisa mengurangi atau merusak nilai-nilai puasa. Bahkan dari yang mubah sekalipun jika tidak mendatangkan manfaat apa apa. Oleh Karena itulah Rasulullah membahasakan bahwa “puasa adalah sebagai perisai.”
Kedua: “لعلكم تشكرون “ ( menjadi insan bersyukur)

Sebagaimana yang terdapat pada firman Allah SWT:

“ (QS Al Baqoroh: 185) ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون

Artinya: dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, serta mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepada kamu, supaya kamu menjadi orang yang bersyukur. (QS: Al Baqaroh: 185).

Ini adalah cita-cita kedua yang diharapkan dari pelaksanaan ibadah puasa, karena puasa akan selalu menggiring seorang muslim untuk selalu ingat kepada Allah dalam setiap detik waktu, dengan meningkatkan ibadah dan ketaatan kepada Allah siang dan malam dengan cara sholat, baca alquran, tasbih, istigfar dan lain sebagainya. Sebagaimana ibadah puasa akan mengajak seseorang untuk bersimpuh mengakui sekaligus mensyukuri nikmat dan karunia yang datang dari Allah SWT. Pengakuan dan rasa syukur tersebut sangatlah penting adanya, karena apabila seseorang telah mau mensyukuri dan mengakui bahwa apa yang didapatkan nya adalah karunia dari Allah, maka ia akan selalu berusaha menggunakan nikmat tersebut untuk ketaatan kepadaNya, bukan untuk maksiat atau pembangkangan terhadap hukum dan aturan Allah SWT.
Jika seseorang sudah mampu untuk selalu zikir dan syukur, apalagi jika hal itu sudah menjadi bagian yang tak terpisah dari diri dan kehidupannya, maka itu adalah indikasi dari emosional yang terkendali, sehingga dengannya ia akan selalu menghadapi berbagai persoalan hidup dengan tenang dan percaya diri, dan itu adalah puncak kemenangan emosional. Bandingkan dengan seseorang yang selalu lupa kepada Allah serta tidak mau bersyukur terhadap karunia yang didapatkannya dari Allah, maka ia akan selalu dihimpit oleh berbagai problem kehidupan, khususnya problem kejiwaan yang tak jarang mereka selesaikan dengan cara mereka sendiri. Ada yang dengan cara bunuh diri, ada lagi dengan cara menelan obat-obat atau pil yang mereka anggap akan mampu menenangkan jiwa mereka, dan lain sebagainya. Maka ibadah puasa akan selalu berusaha untuk menutup rapat-rapat pintu yang akan membawa seseorang menuju kekacauan emosional dengan cara zikir dan syukur tersebut.

Dengan zikir dan syukur ini jugalah seseorang akan mampu menghargai orang lain seperti menghargai dirinya sendiri, dan menilai segala sesuatu secara profesional dan proporsional. Karena ia telah menyadari bahwa segalanya sudah menjadi ketentuan dan ketetapan Allah SWT. Sehingga dengannya kelebihan yang ia miliki tidak serta merta menyebabkan dia sombong, sebaliknya kekurangan yang ada pada dirinya juga tidak akan menyebabkan dia merasa minder, karena pada hakikatnya semuanya sama di hadapan Allah dalam hal hak dan kewajiban.

Rasa syukur yang dibangun oleh ibadah puasa mengajak kita untuk tidak sibuk menilai sisi kelebihan dan kekurangan tersebut. Justru yang ada adalah ajakan untuk merasa satu atau memiliki satu perasaan. Inilah salah satu dari rahasianya kenapa zakat fitrah itu diwajibkan kepada semua orang, yang miskin sekalipun. Supaya semua kita pernah merasakan nikmatnya memberi, minimal sekali dalam setahun. Inilah salah satu bentuk didikan yang kita dapatkan dari ibadah puasa.

Ketiga: " لعلهم يرشدون" ( menjadi insan cerdas)
Di antara rangkaian ayat-ayat puasa itu adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
( QS Al Baqoroh: 186) "...فليسجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون "
Artinya: hendaklah mereka mereka memenuhi sagala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, supaya mereka selalu (cerdas) berada dalam kebenaran. (QS Al Baqoroh: 186).

Ini adalah harapan lain yang ingin dicapai dengan melaksanakan puasa, yang akan melengkapi dua cita-cita sebelumnya, yaitu membangun kecerdasan intelektual (al rusyd). Cerdas intelektual adalah salah satu sifat positif yang harus dimiliki oleh setiap individu muslim, karena ia akan memberikan keseimbangan pada diri, pemikiran, perasaan dan naluri. Sebagaimana ia akan menjauhkan kita dari fenomena jati diri yang kabur dan tak berkepribadian yang jelas, yang cendrung tak berbobot lagi egois.

Namun ada satu hal harus kita pahami, bahwa terminologi kecerdasan intelektual dalam Islam tidak mesti berbanding sama dengan teori kecerdasan yang dipahami oleh banyak orang. Selama ini, banyak orang yang mengukur kecerdasan lewat pencapaian- pencapaian angka dalam batas tertentu. Sehingga seorang anak dikatakan cerdas apabila nilai rata-ratanya di sekolah sembilan atau sepuluh. Seorang mahasiswa dianggap cerdas ketika ia sudah mampu menghafal banyak diktat perkuliahannya, begitu seterusnya. Sementara di dalam Islam kesuksesan dan kecerdasan diukur secara proporsional antara kwalitas dan kwantitas. Kecerdasan ada pada mereka yang menempatkan ilmu di hati bukan sekedar di lidah dan retorika saat berdiskusi. Inilah makna ayat di atas bahwa kecerdasan (al rusyd) ada pada mereka yang istijabah dan selalu memupuk keimanan. Dengan demikian seoarang anak dianggap cerdas bukan semata-mata karena ia telah meraih angka 9 atau 10, akan tetapi diukur sejauh mana pelajaran–pelajaran itu berpengaruh positif dalam kehidupannya. Seorang dianggap cerdas bukan sekedar sudah mengetahui bahwa 1 kg itu sama dengan 10 ons, akan tetapi dianggap cerdas ketika pengetahuan itu diterapkannya di saat ia menjadi seorang pedagang. Sistem pendidikan seperti inilah yang diterapkan oleh Rasulullah SAW dalam mendidik para sahabatnya, sehingga beliau memutuskan untuk mengirim Mush’ab bin `Umair menjadi duta dakwah ke Madinah, padahal Mush’ab ketika itu bukanlah orang yang paling banyak hafalan al Qur’annya.

Kecerdasan intelektual dalam perspektif Islam ditandai dengan apabila:
• Selalu bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram
• Selalu mempertimbangkan antara manfaat dan mudharat
• Selalu mengerti akan hak dan kewajiban.

Kecerdasan seperti inilah yang selalu ingin dibina oleh ibadah puasa pada setiap pribadi muslim. Karenanya, puasa selalu menuntut kita untuk selalu hati-hati dalam bertindak, bersikap dan berucap, agar tidak menodai nilai-nilai puasa yang sedang dikerjakan. Kalau tidak bisa maka seseorang tidak akan mendapatkan apa-apa dari puasanya selain menahan lapar dan haus saja.
Inilah tiga cita-cita besar yang diharapkan terwujud secara nyata dalam setiap pribadi muslim melalui pelaksanaan ibadah puasa. Sebagai seorang muslim yang setiap tahun melaksanakan ibadah Ramadhan, harus selalu menginstropeksi dirinya di setiap penghujung hari Ramadhan, agar ia tahu sudah sejauh mana cita-cita dan harapan dari puasa (kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual) itu sudah berhasil diraih. Intropeksi itu menjadi penting untuk dilakukan agar Ramadhan tidak menjadi sebatas rutinitas tahunan. Wallahua’lam bish Showaab.

Friday, August 22, 2008

DI AMBANG PINTU SORGA

Oleh: Helmi Basri

Pada satu kesempatan salah seorang sahabat yang bernama Abu Umamah datang kepada Rosulullah s.a.w lalu bertanya: “ wahai Rosulullah, tunjukkanlah kepadaku sebuah amalan yang apabila saya kerjakan saya akan masuk sorga, Rosulullah s.a.w menjawab: lakukanlah ibadah puasa karena ibadah puasa tidak ada yang bisa menandinginya”(al-hadits).

Apabila kita cermati petikan riwayat di atas dengan baik maka akan kita dapati Rosulullah s.a.w sedang menggambarkan betapa besarnya hikmah dan kebaikan yang terkandung di dalam ibadah puasa. Penggambaran tersebut bukan hanya untuk Abu Umamah , akan tetapi juga untuk semua umatnya. Bagi kita umat Islam hari ini riwayat di atas akan sangat berarti untuk diingat dan direnungkan kembali, mengingat kita sekarang berada di penghujung bulan sya’ban, untuk kemudian menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Sebuah bulan yang jauh berbeda dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, ia bagaikan bonus kehidupan, karena detik- detik waktunya serta kebaikan yang dilakukan di dalamnya selalu dihitung berkelipatan.

Puasa yang dalam bahasa rosul pada riwayat di atas adalah sebuah ibadah yang tiada tandingannya ( la matsiila lahu) dan akan berhadiah sorga. Dengan demikian sangantlah tepat untuk dikatakan bahwa kita sekarang sedang berada di ambang pintu sorga. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita akan terhanti sampai di depan pintunya saja, ataukah kita akan menjadi bagian dari hamba Allah yang dikaruniakannya untuk langsung melangkahkan kaki memasuki sorga tersebut?. Jawabannya ada pada keseriusan kita dalam memanfaatkan celah- celah kebaikan dan peluang pahala dalam rangka meraih keampunan Allah s.w.t selama menjalani ibadah Ramadhan nantinya. Oleh karena itu tekadkan mulai dari sekarang bahwa Ramadhan kali ini harus betul-betul akan bermakna dan membawa perubahan kearah yang lebih baik bagi kehidupan kita.

Dalam hal ini manusia akan terbagi kedalam dua kelompok besar yaitu: kelompok yang benar-benar menjalani ibadah Ramadhan dengan penuh semangat dan keimanan, sehingga ia tak berminat untuk mengabaikan setiap peluang kebaikan yang ada. Setiap detik dari waktunya selalu diisi dengan pendekatan diri kepada Allah s.w.t, siangnya diisi dengan berpuasa, sedangkan malamnya dihidupkan dengan sholat, baca alQuran, zikir serta memohon keampunan kepada Allah dari segala noda dan dosa. Orang-orang inilah yang dikatakan oleh Rosul dalam sebuah ungkapannya: “siapa saja yang berpuasa dengan penuh keimanan dan perhitungan maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Bukhori). Juga dalam ungkapan yang lain beliau katakan: “ siapa saja yang menghidupkan malam Ramadham dengan penuh keimanan dan perhitungan maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Bukhori dan Muslim).

Tetapi adalagi kelompok kedua yaitu golongan yang Ramadhannya hanya sekedar menahan lapar dan haus, puasanya tidak mendatangkan keberkahan serta tidak mampu untuk menggiring dia ke dalam sorga Allah. Dalam sebuah riwayat Rosul berkata: “berapa banyak orang yang berpuasa akan tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya selain rasa lapar dan haus” (HR Ibnu Majah).

Bulan Ramadhan adalah bulan yang agung, ia bagaikan seorang tamu agung yang akan mengunjungi kita. Coba kita bayangkan apa yang akan kita lakukan di saat kita tau ada tamu besar –katakanlah pejabat tinggi seperti gubernur, walikota dan lain sebagainya- akan berkunjung ke rumah kita atau ke daerah kita, pastilah persiapannya akan sangat maksimal, bahkan jauh sebelum kedatangannya persiapan itu sudah dimulai. Sekarang Ramadhan yang akan menghampiri kita jauh lebih mulia dari semua itu, karena kemuliaan Ramadhan adalah kemuliaan yang tanpa cacat, keagungannya datang dari yang maha agung. Alangkah bahagianya ketika Allah SWT masih memilih kita untuk menikmati indahnya keberkahan Ramadhan kali ini, karena dengan demikian berarti Allah masih memberikan kepada kita kesempatan untuk membersihkan diri. Dalam sebuah riwayat dikatakan: “dari Jum’at ke jum’at berikutnya, dan dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya bisa menghapus dosa”(al-hadits). Tentu saja dosa itu tidak akan terhapus secara otomatis begitu saja, akan tetapi haruslah dengan usaha.

Sebaliknya alangkah meruginya orang-orang yang telah dipanjangkan umurnya sampai memasuki bulan Ramadhan tetapi pancaran sinar Ramadhan tak berarti apa- apa bagi kehidupan mereka. Rosul mengatakan orang seperti itu termasuk kedalam kelompok orang-orang yang celaka dan telah jauh dari rahmat Allah.

Ada beberapa hal yang bisa diadikan alasan bahwa kesuksesan seseorang dalam mengisi Ramadhan akan berhadiah sorga. Alasan itu antara lain:

Pertama: ibadah ramadhan akan membersihkan hati dan jiwa dari sifat sombong, hasad, iri dan lain sebagainya. Bukankah di antara tujuan puasa adalah untuk memupuk sifat taqwa (la’allakum tattaquun)? , sedangkan taqwa sebagaimana yang dikatakan rosul ada pada hati, artinya bersih tidaknya hati seseorang adalah menjadi standar ketaqwaannya. Premisnya adalah jika Ramadhan akan memupuk ketaqwaan sementara taqwa itu fokusnya pada hati maka konklusinya adalah Ramadhan akan membersihkan hati dan jiwa seseorang. Dan siapa yang hatinya selamat dari penyakit itu maka ia adalah penghuni sorga. Kesimpulan ini ditarik dari sebuah kisah salah seorang sahabat yang dijamin masuk sorga, tiga kali ungkapan jaminan itu terucap oleh rosul untuk beliau, ternyata setelah di deteksi oleh ibnu umar orang tersebut bukanlah termasuk orang yang banyak sholat dan sedekahnya, dia adalah orang biasa-biasa saja, bahkan namanya pun tak tersohor di kalangan para sahabat. hanya saja ada satu hal yang beliau miliki bahwa hatinya selalu bersih dari rasa hasad, iri dan dengki.

Kedua: ibadah Ramadhan akan selalu mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Di saat melaksanakan ibadah puasa kita akan merasakan pengawasan Allah (muroqobatullah) yang lebih, terkadang banyak hal-hal yang kita malu mengerjakannya di depan orang banyak, tapi kalau sudah sendiri perasaan malu itu bisa hilang, kecuali dalam Ramadhan. Meskipun kita dalam keadaan sendiri namun hal itu tetap tidak kita lakukan karena kita tau bahwa kita sedang berpuasa. Orang seperti itu berarti ia sedang dekat dengan Allah. Dan siapa saja jika ia semakin merasa dekat dengan Allah maka ia akan semakin jauh dari kemaksiatan, dan apabila seseorang sudah jauh dari yang berbau maksiat maka berarti ia semakin dekat dengan sorga. Dalam penggalan sebuah hadits qudsi dikatakan: “siapa yang berusaha mendekati Allah dengan berjalan maka Allah akan mendekatinya dengan berlari,dan siapa yang mendekati Allah dengan jarak sehasta, maka Allah akan mendekatinya dengan sejengkal”. Begitulah adanya, bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan niscaya Allah akan membalasnya dengan kebikan yang lebih besar.

Ketiga: pada hakekatnya puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi puasa yang sesungguhnya adalah mempuasakan seluruh anggota tubuh dari bentuk-bentuk kemaksiatannya masing-masing. Ibnul qoyim mengistilahkan dengan shiyamul jawarih. Lidah harus berpuasa dari berbohong dan ghibah, tangan harus dipuasakan dari mengambil yang bukan haknya, akal fikiran juga harus dipuasakan dari berfikiran yang negatif dan lain sebagainya. Kalau tidak berarti ia baru sekedar menahan lapar dan haus. Dalam sebuah hadis Rosul bersabda: “barang siapa yang tidak menahan diri dari berdusta maka sedikitpun Allah tidak sudi menerima puasanya, meskipun ia menahan diri dari makan dan minum” (HR. Bukhori).

Begitulah keagungan ramadhan yang apabila dicermati baik-baik maka wajar prestasi yang diraih dengannya akan meraih reward sorga. Tentunya kita berharap semoga Ramadhan kali ini benar-benar mampu kita manfaatkan sebaik-baiknya dalam merobah diri kepada yang lebih baik, serta mendapat reward yang dijanjikan. Wallahu waliyyuttaufiq!!

Thursday, May 29, 2008

DON’T CRY OVER SPILT MILK

Oleh: Yulima Ozeni Yusnita S.Ag


Jangan disesali apa yang telah terjadi itulah kira-kira arti ungkapan di atas. Apa yang telah terjadi tak perlu disesali karena sudah terlanjur terjadi, kita tak kan pernah bisa mengembalikan waktu yang telah berlalu. Kita takkan pernah bisa mengembalikan waktu muda kita, semuanya sudah berlalu hanya tinggal kenangan baik ataupun buruk. Karena salah satu sifat waktu menurut DR.Yusuf Qardhawi adalah bila sudah berlalu,tak kan pernah bisa kembali.

Betapa berharganya waktu! sampai Allah banyak bersumpah dengan waktu di dalam Al-Qur’an. Ini bisa kita lihat di dalam surat Al-Lail ayat 1-2, surat Adh-Dhuha ayat 1-2, surat Al-Fajr ayat 1-2, surat Asy-Syams ayat 1-2, surat Al-Ashr ayat 1 dan surat Al-Insyiqaq ayat 16. Waktu adalah nikmat Allah yang termahal yang diberikan kepada kita. Di dalam seluruh ritual Islam juga banyak berhubungan dengan waktu seperti sholat,puasa, zakat ataupun haji harus dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh Allah.

Waktu, adalah kekayaan berharga yang diberikan Allah kepada kita. Bukankah pepatah Inggris mengatakan time is money, dan orang Arab mengatakan al-waktu kassaif in lam taqthaqhu qathaaka (Waktu itu seperti pedang, Jika anda tidak memakainya untuk memotong, dia akan memotong anda). Betapa banyak orang yang menyesali waktu muda mereka ketika sudah tua. Ada sebuah cerita tentang seorang bapak tua yang menangis ketika masuk mesjid, dia melihat beberapa anak muda di dalamnya. Ketika ditanya mengapa dia menangis,dia mengaku selama ini tidak terbiasa shalat di mesjid kecuali setelah berusia lanjut. Ketika dia melihat mereka yang masih muda, dia menyesali telah menyia-nyiakan umurnya. Syukurlah si bapak tua bukan hanya menyesali,tapi dia mau berbuat meskipun terlambat untuk mengejar ketinggalannya.

Hasan Al-Bashri, seorang tabiin setiap terjaga dari tidurnya di pagi hari, dia akan menyeru: “Hai manusia,aku adalah harimu yang baru yang menjadi saksi atas perbuatanmu. Pergunakanlah dengan baik dan jadikanlah bekalmu. Sebab bila aku telah pergi,aku tidak akan pernah kembali hingga hari kiamat.”

Betapa mulianya agama kita yang mengajarkan pemeluknya untuk menghargai waktu, sayang banyak sekali yang menyia-yiakannya. Mereka hanya menghabiskan waktu di kafe-kafe, atau menghabiskan waktu dengan percuma. Mari renungkan hadits Rasulullah Saw “Pada hari kiamat tidak seorangpun hamba yang diprkenankan meninggalkan posisinya kecuali setelah ditanya tentang lima perkara. Tentang penggunaan umurnya, masa mudanya, kekayaannya darimana ia peroleh dan untuk apa ia gunakan dan apa yang ia lakukan terhadap ilmunya.” (HR. At-Tirmidzi : 2416)

Kita lihat bagaimana generasi terdahulu begitu menghargai waktu. Banyak dari mereka yang berumur singkat, tapi diabadikan sejarah hingga ratusan tahun. Usamah bin Zaid memimpin pasukan muslimin ketika masih berusia 16 tahun. Muhammad Al-Fatih berusia 23 tahun sudah berhasil menaklukan konstantinopel yang mempunyai pertahanan yang sangat kuat. Kemudian Sa’d bin Mu’adz yang memeluk Islam diumur 30 tahun kemudian wafat di umur 37 tahun, dengan waktu 7 tahun begitu banyak sumbangsih yang diberikan untuk Islam, sampai ketika dia meninggal Rasulullah berkata ”Arsy bergetar sebab kematian Sa’d bin Mu’adz” (HR.Muslim:6295). Imam An-Nawawi,pengarang kitab “Riyad Ash-Shalihin” meninggal saat berusia 40 tahun dan belum sempat menikah sebab kesibukannya dengan ilmu. Dia telah mengarang 500 buah buku. Sedang Ibnu ‘Aqil telah menulis buku besar “Al-Funun” dengan jumlah 800 jilid, Ibnu Rajab telah menulis lebih dari 2.000 jilid buku, yang bila dibagi seluruh karyanya dengan usianya, ternyata Ibnu Rajab menulis 9 buah buku perharinya.

Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menyisihkan waktu kita untuk beramal sholeh dan memberikan sumbangsih untuk Islam? Saat ini kita sedang berlomba dengan waktu untuk mengumpulkan bekal dengan berbuat kebaikan. Simaklah hadits Rasulullah Saw : “ Bersegeralah melakukan aktivitas kebajikan sebelum dihadapkan pada tujuh rintangan. Akankah kalian menunggu kefakiran yang menyusahkan, kekayaan yang melupakan, penyakit yang menggerogoti, penuaan yang menidak mampukan, kematian yang niscaya, ataukah dajjal, kejahatan terburuk yang pasti datang atau bahkan kiamat yang amat dahsyat?”(HR.At-Tirmidzi)

Semua yang disebutkan Rasulullah dalam hadits di atas sudah pasti akan datang. Jangan sampai kita hanya menyesali, karena sesalan takkan berguna. Don’t cry over spilt milk! Karena setiap kita akan mempertanggung jawabkan apa yang telah kita perbuat di dunia.

demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. AL-Asr:1-3)

Wallahu’A’lam

Friday, May 16, 2008

NYAMAN

Oleh: Asep Sutisna

Ketika jamuan resepsi pernikahan Putri sulungnya, alm Raja Hassan II berbisik lirih di telinga menantunya "jangan kecewakan putriku, kalau tidak kamu yang kecewa", jawaban sang menantu malam itu hanya menganggukan kepala sebagai tanda persetujuannya, dan selanjutnya resepsi pernikahan putri Lala Maryam dan Fouad Filali berlangsung meriah dan berakhir bahagia sampai dikaruniai dua orang anak, Lala Soukaina dan Maulay Idris. Namun, di tahun 1999 tepat pada tahun meninggalnya sang ayah pernikahan antara keduanya pun berakhir. beragam spekulasi muncul waktu itu, semua media masa di Maroko menyoroti perceraian elit itu, dan yang paling mengesankan saya adalah ungkapan pendek Fouad Filali di majalah al Ayyaam "Pernikahan adalah kesepakatan rasa nyaman dua insan untuk terus bersama".

***

Tahun lalu, sebulan setelah tamat kuliah, salah seorang rekan saya menelpon, dengan semangat sekali ia mengabarkan berita kalau dia sudah diterima kerja di Departemen Pertahanan Maroko. Chimo -begitu biasa saya panggil dia- dengan senang hati menceritakan semua proses yang dilaluinya sampai ia diterima, dari mulai pendaftaran dan mengikuti tes tulis, tes lisan dan uji fisik sampai mengucurkan dana sebanyak 20 ribu dirham untuk memuluskan langkahnya, dan alhamdulilah ungkapnya dia sekarang sudah ditugaskan menjaga istana raja di kota ifrane dengan gaji yang cukup besar. Namun, sebulan yang lalu dia kembali menelpon saya, dengan lemas dia mengatakan kalau dia sudah berhenti, ketika saya tanya kenapa, dia hanya menjawab pendek, "istri saya tidak nyaman dengan pekerjaan saya".

***

Mungkin bila kita lihat selintas pengalaman di atas terkesan sedikit klise, dan terlalu sulit untuk mendapatkan kepastian sebab musababnya, hanya tidak bisa dipungkiri akan letak peran rasa nyamannya si tokoh adalah sebabnya. Meskipun sebenarnya kita sendiri sering terjebak dalam situasi dan kondisi yang tidak nyaman seperti itu, baik di rumah, di sekolah di pasar atau di kantor. Karena nyaman adalah sebuah kondisi dimana kita bisa beradaptasi dengan lingkungan kita dengan baik. Dan timbul dari diri kita sendiri setelah berinteraksi dengan lingkungan kita sampai membuat kita mampu bertahan lebih lama di dalamnya .

Bila dihubungkan kembali kepada kehidupan berkeluarga, maka kata sakinah-lah yang tepat untuk menggambarkan arti sebuah kenyamanan, karena istilah sakinah digunakan al Qur'an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Kata sakinah diambil dari akar kata yang sama dengan kata sakanun yang berarti tempat tinggal, sekaligus merupakan tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana nyaman dan tenang (mawadah wa rahmah).

Sehubungan dengan kata sakinah tersebut, beberapa ayat al Quran yang ditafsirkan mengandung kata nyaman, pertama surat al Baqarah ayat 248:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِي

Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, "sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya tabut kepadamu, yang di dalmnya terdapat ketenangan (sakinah) dari Tuhanmu dan sisa peninggalan dari keluarga Musa dan Harun, yang dibawa oleh malaikat, sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran allah) bagimu, jika kamu orang yang beriman.

Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat, ayat tersebut menggambarkan di dalam peti tersebut terdapat ketenangan (sakinah) yang berarti tempat yang nyaman, tenang, aman dan kondusif untuk menyimpan sesuatu, termasuk dapat diartikan tempat tinggal yang tenang bagi manusia. Kedua dalam surat al Fath ayat 4 :

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَة فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حكيما.

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan (sakinah) ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Dan milik Allah-lah bala tentara langit dan bumi dan dialah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Di sini, sakinah adalah rasa ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin, ketenangan tersebut merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap orang yang mampu melakukannya, dan suasana batin yang hanya bisa diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan buat seseorang yang mampu menciptakan suasana tenang bagi orang lain.

Untuk itu di mana pun kita berada, membangun sebuah kenyamanan tetap dimulai dari diri kita terlebih dahulu, yang nantinya kenyamanan bersama akan terasa dari beberapa individu yang telah mendapatkannya, sehingga terpancar suasana yang indah sekaligus membuat kita betah, baik di rumah atau di manapun kita berada. kebersamaan keluarga akan muncul menjadi nilai yang menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan yang lebih luas. Ketiga dalam surat ar Rum ayat 21:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kebesarannya-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” Ar Rum:21

Sebenarnya, Ayat ini bagian dari cerita tanda-tanda keagungan Allah SWT, dan kekuasaan-Nya. Dari mulai penciptaan langit dan bumi sampai diciptakan manusia berpasang-pasangan yang dengannya terjadi kesinambungan hidup yang membawa kita merasa tentram menjalaninya.

Kata litaskunuu ilaihaa, dalam ayat tersebut dapat diartikan agar kau berteduh -wahai para suami- kepada istrimu. Kata litaskunuu diambil dari kata sakana yaskunu yang artinya berdiam atau berteduh. Seperti di atas tadi kata sakana ini merupakan akar kata untuk sakinah (nyaman). Memang bisa saja kata sakana diartikan tenang dan nyaman, namun pengertian dalam ayat ini lebih dalam lagi dari sekedar nyaman.

Syaikh Ibn Asyur dalam tafsirnya At Tahrir wat Tanwiir mengartikan kata litaskunuu dengan tiga makna:

Pertama, lita’lafuu artinya agar kamu saling mengikat hati, seperti uangkapan ta’liiful quluub. Dalam surah Al Anfal: 63 Allah berfirman: wa allafa baina quluubihim (Dialah Allah yang telah mempersatukan hati di antara mereka). Dengan makna ini maka antara suami istri hendaknya benar-benar membangun ikatan hati yang kuat. Dan sekuat-kuat pengikat hati adalah iman. Maka semakin kuat iman seseorang, semakin kuat pula ikatan hatinya dalam rumah tangganya. Sebaliknya semakin lemah iman seseorang, bisa dipastikan bahwa rumah tangga tersebut akan rapuh dan mudah retak.

Kedua, Tamiiluu ilaihaa artinya kau condong kepadanya. Condong artinya pikiran, perasaan dan tanggung jawab tercurah kepadanya. Dengan makna ini maka suami istri bukan sekedar basa-basi untuk bersenang-senang sejenak. Melainkan benar-benar dibangun di atas tekad yang kuat untuk membangun masa depan rumah tangga yang bermanfaat. Karenanya harus ada kecondongan dari masing-masing suami istri. Tanpa kecondongan pasti akan terjadi keterpaksaan dan ketidak harmonisan.

Ketiga, Tathma’innuu biha artinya kau merasa tenang dengannya. Dalam surah Ar Ra’d:28 Allah berfirman: alaa bidzikrillahi tathma’innul quluub (Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram). Dari sini nampak bahwa untuk mencapai ketenangan dalam rumah tangga hanya dengan banyak berdzikir kepada Allah.

Tentunya memang hal yang paling menyenangkan dan memberi kenyamanan jika kita bisa sama-sama saling mengajak sesama untuk mengingat Allah. Dan tidak luput mengakhiri tulisan ini, saya pun ingin mengajak pembaca yang sudah berkeluarga untuk tidak lupa mambaca do’a yang diambil dari hadits ini agar nyaman bersenggama:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

Dari Ibnu Abbas ra. berkata, Rasulullah saw bersabda, Kalau salah seorang hendak mendatangi istrinya- hendaknya ia berdoa,Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkan syetan dari kami dan jauhkan syetan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami.’ Karena jika ditakdirkan antara keduanya seorang anak, maka anak tersebut tidak akan dicelakakan oleh syetan selama-lamanya.”

Monday, May 12, 2008

WANITA CANTIK DAN SHOLEHAH


(Mengenang hari Kartini)
Oleh : Yulima Ozeni Yusnita S.Ag


“Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah.” (HR. Ibnu Majah)

Setiap tanggal 21 April di setiap daerah di Indonesia, di kantor-kantor ataupun sekolah-sekolah disibukkan dengan kegiatan-kegiatan perlombaan untuk memperingati hari Kartini, salah seorang pejuang nasional pembebas kaum wanita.Mulai dari anak-anak sampai perlombaan untuk orang dewasa. Peragaan busana kebaya lengkap dengan konde di kepala, sambil berlenggang-lenggok di atas pentas, mereka bergaya bak Kartini muda.Itu diantara perlombaan yang kerap diadakan. Kartini sebagai pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita,memperjuangkan bagaimana wanita bisa bebas dari kebodohan, punya hak yang sama dalam pendidikan. Ini semua bisa dengan tuntas kita baca dalam kumpulan surat-surat Kartini kepada kawannya,yang kemudian dibukukan dengan judul “Habis Gelap terbitlah terang”.

Apapun yang dilakukan oleh Kartini,ia sebenarnya hanya sedikit meneruskan apa yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw belasan abad yang silam. Wanita di masa sebelum Islam hanya menjadi budak pemuas nafsu, dijajah, dihina dan disamakan dengan syetan (karena telah ikut membujuk Adam untuk memakan buah khuldi sehingga mereka dikeluarkan dari syurga oleh Allah SWT). Wanita tidak mendapat haknya, malah disamakan dengan barang sehingga bisa diwariskan dan diperjual belikan. Di tanah Arab, sang ayah akan malu bila istrinya melahirkan anak perempuan, sehingga mereka akan tega mengubur anaknya hidup-hidup. Lalu ketika agama Islam datang yang dibawa oleh manusia pilihan Nabi Muhammad, kedudukan wanita diangkat dan dimuliakan.

Hal ini bisa kita kita lihat dalam beberapa haditsnya : “ Sesungguhnya Allah mengharamkan padamu durhaka kepada ibu dan mengubur hidup-hidup anak perempuan.” (HR Bukhari) “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw sambil bertanya: Ya Rasulullah,siapa gerangan yang paling berhak aku pergauli dengan baik? Beliau menjawab: ibumu. Ia bertanya lagi, lalu siapa? Beliau menjawab: ibumu. Ia bertanya lagi, lalu siapa?Beliau menjawab: ibumu. Ia bertanya lagi lalu siapa? Beliau menjawab: bapakmu.” (HR.Bukhari dari Ab Hurairah) “Sesungguhnya syurga itu di bawah kedua kaki ibu.” (HR.An-Nasa’I dari Mu’awiyah bin Jahimah Al-Salami)
Kemudian di dalam Al-Qur’an, Allah membuat khusus dalam salah satu surah-Nya yaitu surat An-Nisa’, yang memuat diantaranya tentang pembagian warisan yang menjadi hak wanita.

Lihatlah! Betapa agungnya Islam yang memuliakan wanita, saudara kandung laki-laki. Wanita diberikan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam beribadah kepada Allah dan beramal sholeh, sehingga dijanjikan pahala yang sama-sama dengan laki-laki yang juga bertakwa dan beramal sholeh. “Siapa yang melakukan perbuatan yang baik, dari laki-laki dan wanita, dan dia itu beriman, niscaya Kami akan memberinya kehidupan yang baik, dan akan Kami balas mereka dengan pahala yang baik sebaik apa yang pernah mereka lakukan.” (QS.An-Nahl:97)

Wanita di masa Rasulullah juga ikut dalam majelis ilmu yang diadakan oleh Rasulullah. Mereka tidak segan-segan juga bertanya tentang permasalahan agama yang tidak mereka pahami. Begitulah posisi wanita yang telah diangkat dan dimuliakan oleh Islam. Apapun posisi dan kedudukan seorang wanita dalam pekerjaannya jangan sampai membuat fitrah kewanitaannya berkurang. Emansipasi yang digaungkan oleh yang bukan Islam, banyak membuat wanita kehilangan fitrah dan jati dirinya. Karena bagaimanapun seorang wanita sebagai seorang hamba Allah, dia punya hak dan kewajiban kepada Allah. Wanita juga ketika sebagai seorang istri, walaupun ketika dia bekerja, gaji atau posisinya lebih tinggi dari suaminya,tidaklah membuat wanita berubah menjadi pemimpin dalam rumah tangganya. Dia tetap harus memenuhi hak dan kewajiban sebagai seorang istri. Karena bagaimanapun kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan kaum laki-laki terhadap kaum wanita (baca selengkapnya di QS.An-Nisa’ ayat 34). Wanita dengan segala kelebihan dan kekurangannya juga adalah seorang ibu bagi anak-anaknya.

Wanita adalah perhiasan dunia, yang indah, menyilaukan dan melenakan siapapun yang melihatnya. Siapapun ingin menjadi wanita cantik yang mempesona. Sehingga banyak yang merubah penampilan aslinya. Yang kulit hitam berusaha memutihkan kulitnya dengan kosmetik pemutih, yang pesek ingin mancung, yang gemuk melangsingkan tubuhnya dan sebagainya. Karena dalam dunia iklan digambarkan yang cantik itu hanya yang berkulit putih, rambut digerai,tubuh semampai dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan wanita yang diberi Allah kulit yang hitam atau yang gemuk atau yang wajahnya biasa-biasa saja? tak pantaskah ia diperhatikan? Tentulah tidak! Karena kecantikan bukan hanya yang terpancar secara lahir saja, kecantikan yang sebenarnya apa yang terpancar dari dalam batin seorang wanita.

Lalu bagaimana caranya agar seorang wanita bisa cantik batinnya? Yang pertama : Harus mempunyai keimanan yang tinggi kepada Allah. Berusaha untuk selalu mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Wanita yang senantiasa mencuci mukanya dengan air wudhu’ dan selalu memakai pakaian taqwa. Kedua : Mempunyai sifat sabar, penyayang dan mempunyai sifat malu Ketiga : Mempunyai kecerdasan bukan hanya IQ tapi juga kecerdasan Spritual dan kecerdasan Emosional. Yang Keempat: Wanita yang selalu menjaga kehormatan dirinya.

Memperingati hari Kartini tidaklah salah, namun jangan sampai setiap tahun kita hanya memperingati tanpa kesan untuk meneladani semangat Kartini. Menjadi wanita yang cantik lahir batin juga sholehah harus menjadi cita-cita setiap wanita. Karena wanita adalah tiang Negara, bila baik wanitanya maka baiklah bangsa dan negaranya.


Wallahu’a’lam

Maroko, Musim semi 2008

Friday, April 18, 2008

Berdoalah….!!!

Oleh: Fauzan Adzim Fauzi

Allah berfirman dalam al Qur`an:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ... غافر: 60

"Dan Tuhanmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan…" (Ghafir 60).
Banyak ayat-ayat dalam al-Qur`an yang memerintahkan kepada kita untuk berdoa kepada Allah SWT. Karena secara naluri, ketika seseorang mengenali dengan sesungguhnya akan kelemahan dirinya, dan menyadari serta meyakini akan adanya Dzat yang Maha Kuasa, maka ia tidak akan segan-segan untuk selalu meminta dan berdoa kepada Dzat yang Maha Kuasa tersebut. Justru sebaliknya, sangat sombong ketika ada seseorang yang enggan bahkan tidak pernah menengadahkan tangannya untuk meminta dan berdoa.

Ketika seorang mukmin berdoa, maka doanya tidak akan pernah sia-sia dan pasti akan dikabulkan, sebagaimana janji Allah yang disebutkan pada ayat di awal pembuka tulisan ini. Dalam beberapa referensi disebutkan, bahwa Allah SWT mengabulkan doa seorang mukmin melalui tiga cara. Pertama; Allah mengabulkan doa seperti yang diminta. Tidak jarang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, doa yang kita panjatkan akhirnya dikabulkan persis seperti apa yang kita minta atau yang kita harapkan. Kedua; Allah mengabulkan doa tidak seperti yang diminta, namun menggantinya dengan yang lebih baik dari yang diminta. Doa-doa yang dipanjatkan, terkadang membuat seseorang bertanya-tanya, mengapa doaku tidak kunjung dikabulkan? Namun Allah Maha Tahu, bahwa ada yang lebih baik dari apa yang dimintanya, lalu Allah mengabulkan doanya dengan memberikan yang lebih baik dari apa yang dimintanya. Ketiga; bahwa doa-doa yang dipanjatkan tidak akan sia-sia begitu saja, kalau memang doa-doa yang dipanjatkan itu tidak dikabulkan di dunia, maka Allah akan menggantinya dengan balasan-balasan kebaikan nanti di akhirat. Oleh karena itu, jangan enggan untuk berdoa, menengadahkan kedua tangan untuk meminta kepada Allah SWT.

Orang yang Berdoa Harus Suci Lahir Bathin.

Dua hal yang harus diperhatikan dalam berdo`a adalah, bahwa orang yang berdoa sebisa mungkin untuk suci lahir dan batin. Suci dari segala macam dosa dan maksiat. Sebab dosa dan maksiat yang masih dilakukan akan menjadi penghalang doa itu untuk dikabulkan Allah SWT. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasululah SAW dalam sebuah sabdanya:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر الرجل يطيل السفر أشعث أغبر يمد يديه إلى السماء : يا رب يا رب ! و مطعمه حرام و مشربه حرام و ملبسه حرام و غذي بالحرام فأنى يستجاب لذلك (رواه مسلم

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bercerita tentang seseorang yang dalam perjalanan panjang lalu memanjatkan tangannya ke langit sambil berdoa mengucap, "Ya Tuhan. Ya Tuhan". Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan mengkonsumsi barang yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan? (HR Muslim).
Antara yang Diminta dan yang Diberikan.
Ketika kita berdoa dan meminta kepada Allah SWT, tentu kita meminta sesuatu yang menurut pandangan subjektif kita dirasa sangat dibutuhkan. Namun kita pun jangan melupakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui segala yang tertutup dari mata kita. Bisa jadi Allah SWT sebelumnya akan memberikan musibah kepada kita yang kita tidak sadari, lalu tiba-tiba kita meminta sesuatu yang lain. Maka atas kebijakan-Nya, Dia tidak memberikan apa yang kita minta melainkan membatalkan musibah yang seharusnya Dia timpakan. Dan tentu hal itu jauh lebih bermanfaat buat kita tanpa kita sadari. Atau boleh jadi ketika Allah SWT mengabulkan doa kita, ternyata pemberian-Nya bukan akan semakin membuat kita dekat kepada-Nya, justru yang terjadi sebaliknya semakin menjauh. Misalnya seseorang berdoa minta rezqi yang banyak dan terus mengalir. Bukan Allah SWT pelit tidak mau memberi, namun sangat boleh jadi bila harta itu diberikan, kita justru tidak pernah berdoa lagi kepada-Nya, semakin jauh dari-Nya dan semakin lupa kepada-Nya. Maka Allah SWT membiarkan kita miskin agar selalu ingat dan zikir serta meminta kepada-Nya. Hingga sampai batas waktu tertentu barulah Allah SWT mengabulkannya.

10 sebab doa kita tidak dikabulkan.

Di bagian akhir tulisan sederhana ini, akan disajikan 10 sebab mengapa doa-doa yang sering kita panjatkan, terasa terbentur tembok tebal dan berakhir sia-sia tanpa ada jawaban baik dari Allah SWT.
Seorang ulama dan raja di masa keemasan Islam, bernama Ibrahim bin Adham, dengan dikelilingi sekian ratus pengawalnya, ia mengadakan inspeksi ke pasar-pasar rakyat di daerah kekuasaannya. Tiba-tiba salah seorang pengunjung pasar mendekatinya dan berkata, "Wahai paduka raja, mengapa do’a kami tidak dikabulkan oleh Allah? Padahal Allah berfirman dalam Al Qur’an, “Ud’uuni astajiblakum” (berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu).
Ibrahin bin Adham menjawab, “Sesungguhnya hatimu telah dimatikan dengan sepuluh perkara, yaitu :
1. Engkau beriman kepada Allah, mengetahui Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajibanmu kepada-Nya. Maka, tidak ada mamfaatnya keimananmu itu. Apa kewajiban kamu kepada Allah, yaitu kamu mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya
2. Engkau mengatakan beriman kepada Rasul-Nya, tetapi engkau menentang sunnahnya dan mematikan syari’atnya. Maka, apalagi buah dari keimananmu itu?
3. Engkau membaca Al Qur’an yang diturunkan melalui Rasul-Nya, tetapi tidak kau amalkan isi al Qur`an yang telah kamu baca itu, bukankah dalam al Qur`an banyak berisi petunjuk untuk kebahagiaan hidupmu di dunia dan akhirat, tapi engkau tidak mengamalkannya. Engkau berkata, "Sami’na wa aththa’na" (Kami mendengar dan kami patuh), tetapi kau tentang ayat-ayatnya.
4. Engkau menginginkan dan mengharapkan syurga, bercita-cita syurga akan menjadi tempat tinggal terakhir kamu, tetapi setiap waktu melakukan hal-hal yang dapat menjauhkanmu dari syurga. Maka, mana bukti keinginanmu itu?
5. Engkau berikrar bahwa takut akan neraka Allah SWT. tapi sebaliknya prilaku engkau di dunia justru menjerumuskan kamu ke neraka yang menyala-nyala itu.
6. Setiap saat engkau merasakan kenikmatan dan anugerah yang diberikan oleh Allah, tetapi tetap engkau tidak bersyukur kepada-Nya, justru malah menggunakan nikmat itu untuk bermaksiat kepada Allah.
7. Allah memerintahkanmu agar memusuhi syetan seraya berkata, “Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh bagi(mu) karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongan supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS. Al Faathir [35] : 6). Tetapi kamu tidak musuhi syetan dan justru malah bersahabat dengannya.
8. Kalian sibuk mengurus kejelekan orang lain, dan lupa mengurus aib diri kamu sendiri. Bagaimana mungkin doamu akan diterima.
9. Setiap kali ada yang meninggal di antara kamu, kamu hantarkan jenazah merek, namun tidak sedikitpun pelajaran yang kau ambil dari jenazah yang baru kamu hantar.
10. Kamu meyakini bahwa kematian itu ada, namun apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapi kematian itu. Sejauh mana bekal yang akan kau bawa untuk menghadapi kematian yang pasti akan datang pada setiap seorang di antara kamu.

Nah, bagaimana mungkin do’amu diterima, padahal engkau telah menutup seluruh pintu dan jalan do’a tersebut dikabulkan. Bertaqwalah kepada Allah, ikhlaskan amalmu, bersihkan batinmu, dan lakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nanti Allah akan mengijabah do’amu itu.
__________________________
Kami Redaksi Sayyidul Ayyam dan Keluarga Besar PPI Maroko mengucapkan, "Selamat kepada Sdr. Ahmad Ridho al Rasyidi al Mundziri telah menyelesaikan studi Program Strata 3 (Doktoral) di Kulliyah Adab wa al Ulum al Insaniyah Muhammad V Agdal Rabat, semoga ilmunya bermanfaat, Amien".

Friday, March 14, 2008

Kesederhanaan dalam Hidup

Oleh: Ahmad Suprapto


Agama Islam menganjurkan agar umatnya sentiasa hidup sederhana dalam semua tindakan, sikap dan amal. Islam adalah agama yang berteraskan nilai kesederhanaan yang tinggi. Kesederhanaan adalah satu ciri yang umum bagi Islam dan salah satu perwatakan utama yang membedakan dari umat yang lain. Ini selaras dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 143:

yang artinya: "Dan demikianlah kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia."

Atas prinsip inilah, maka umat Islam yang sejati merupakan umat yang adil dan sederhana. Merekalah yang akan menjadi saksi di dunia dan di akhirat di atas setiap penyelewengan, penindasan serta penyimpangan ke kanan maupun ke kiri dari jalan pertengahan yang lurus.

Satu perkara yang harus kita sadari sebagai umat Islam yaitu konsep sederhana meliputi aqidah (keyakinan), aspek ibadah dan cara melaksanakannya, akhlak dan cara hidup, berinteraksi antar sesama dan segala sesuatu yang menyentuh persoalan kehidupan dunia.

Rasulullah s.a.w. telah bersabda dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi:

yang artinya : “ Sebaik-baik perkara ialah yang paling sederhana”.

Kesederhanaan adalah budaya yang telah diterapkan oleh Rasulullah S.A.W. Budaya sederhana dan sentiasa mendaulatkan prinsip keadilan serta kemanusiaan inilah yang membentuk generasi Islam yang begitu mantap dan berkualitas. Generasi yang dididik oleh Nabi Muhammad S.A.Wdengan ciri kesederhanaan dan penghayatan memahami Islam yang sejati berlandaskan cahaya al-Quran itulah yang akhirnya berhasil mengangkat panji-panji Islam ke seluruh dunia.

Kita telah menyadari akan pentingnya dan manfaat kesederhanaan di dalam kehidupan sehari-hari. Namun permasalahannya ialah bagaimana hendaknya kita memupuk sifat kesederhanaan dan menjalani hidup secara sederhana?

Dua hal di antara cara untuk menerapkan sifat kesederhanaan dalam diri kita. Yang pertama adalah dengan mengawal serta menundukkan hawa nafsu yang bergejolak dalam diri kita.

Allah S.W.T dan Rasulullah S.A.W sering mengingatkan kita agar mengawal hawa nafsu dan tidak berlebihan di dalam melakukan sesuatu. Ini adalah karena hawa nafsulah yang selalu menjeruskan manusia ke kancah kebinasaan. Firman Allah S.W.T di dalam ayat 71 Surah Al-Mukminun:

yang artinya: "Andaikata kebenaran itu menurut hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi beserta isinya."

Disebabkan karena gagal untuk mengawal hawa nafsu ini, Kita sering melakukan pemborosan dan berlebihan. Kita berbelanja lebih daripada keperluan kita yang kita butuhkan, sedangkan masih banyak lagi yang lain yang lebih memerlukan bantuan untuk menopang kehidupan mereka.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya pemborosan itu hanyalah mendekatkan kita kepada syaitan dan menjauhkan kita dari Allah S.W.T. Firman Allah di dalam Surah Al-Isra` ayat 27 :

Yang artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.

Yang kedua yaitu menjiwai sifat kesederhanaan. Kita harus bijaksana dalam memenuhi kebutuhan hidup kita. Dengan sikap tersebut kita dapat mengetahui dengan pasti perkara-perkara yang lebih memerlukan perhatian dan tumpuan masa, tenaga ataupun uang. Tanpa mengetahui dengan pasti perkara-perkara yang harus didahulukan maka kita akan lebih cenderung untuk mengikut hawa nafsu sehingga mengakibatkan kita untuk gagal di dalam mengimbangi urusan kehidupan. Rasulullah S.A.W pernah bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

yang artinya: “Tidak akan susah bagi siapapun yang sederhana dalam perbelanjaan”.

Rasulullah S.A.W telah menerangkan bahawa orang yang bersederhana dalam perbelanjaan tidak akan hidup kesusahan. Bagaimana tidak, Mereka membelanjakan harta mereka dalam jalan yang benar. Mereka merancang perbelanjaan mereka. Mereka bukanlah orang yang kikir. Mereka pula bukanlah orang yang suka belanja mengikuti keinginan hati. Inilah sifat hamba-hamba Allah yang sejati. Allah S.W.T telah berfirman di dalam surah Al-Furqan Ayat 76 :

Dan mereka (Hamba Allah) apabila berbelanja tidak berlebihan dan mereka bukanlah pelit dalam berbelanja. Merekalah yang seimbang di antara dua perkara ini”.

Harta yang ada adalah nikmat Allah S.W.T. Setiap nikmat yang Allah berikan harus digunakan dengan penuh kebijaksanaan dan hikmah. Janganlah kita menjadi golongan yang sombong, kikir dan juga tamak akan harta dunia sehingga lupa bahwa Allah lah yang memberikan kita nikmat ini. Jangan pula kita menjadi golongan yang terlalu berlebihan dalam berbelanja, sehingga kita menjadi orang yang boros. Agar kelak tidak akan mendapat kerugian di dunia dan di akhirat.

Allah S.W. T telah berfirman dalam surah Al Isra’ Ayat 29, yang menerangkan mengenai dua golongan yang rugi ini: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu Pemurah) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”

Mendapatkan kebahagiaan di dunia dan kejayaan di akhirat adalah merupakan impian

setiap orang yang beriman. Sifat kesederhanaan merupakan kunci bagi kejayaan kita nanti di dunia ini dan di akhirat.

Marilah sama-sama kita terapkan sifat kesederhanaan dalam diri kita dan kelaurga. Semoga dengan sifat kesederhanaan dalam menjalani kehidupan di dunia ini kita menjadi umat yang seimbang serta bahagia di dunia dan di akhirat kelak.


Friday, February 29, 2008

Memantapkan kembali eksistensi Agama

Oleh: Arwani Syaerozi


Sudah menjadi maklum, bahwa peradaban modern telah memetakan umat manusia menjadi dua kelompok besar. Pertama; komunitas relegius meyakini ajaran agama dan mengamalkannya. Kedua; komunitas hedonis hanya mengedepankan kelezatan duniawi, tidak mengindahkan norma-norma agama, bahkan cenderung meragukan eksistensi Tuhan dan kehidupan di akhirat.

Hidup menurut kacamata hedonisme, hanya berorientasi pada terpenuhinya kebutuhan jasmani, biologis, dan menyangkut reputasi. Hidup - menurut kacamata ini - telah sempurna dan mencapai klimaks dengan terpenuhinya kebutuhan jasmani baik yang berskala primer, sekunder maupun tersier. Pandangan hedonisme ini menggiring kita untuk tidak peduli dengan apapun yang berkaitan dengan doktrin agama, seperti hari akhir, kehidupan akhirat, atau pembalasan atas amal perbuatan, sebab hal-hal seperti ini tidak bisa dinilai dengan materi dan tidak bisa dinalar dengan akal. Parahnya, bicara tentang agama dianggap “Jadul” (jaman dulu) bahkan dianggap sebagai obrolan primitif. Seirama dengan kaum hedonis, bapak sosialis Karl Mark memvonis agama sebagai candu bagi umat manusia yang harus diperangi.

Beranjak dari sudut pandang ini, kita - sebagai komunitas relegius - menjadi bertanya-tanya; sebenarnya apa tujuan hakiki dari hidup ini? mengapa agama didisposisikan “tragis” oleh sebagian manusia? Bukankah agama telah berperan menciptakan manusia yang beretika? Dan bukankah hanya agama yang selama ini mengisi kehampaan makna bagi kehidupan umat manusia ?

Agama dan kehidupan dunia:

Bahwa Islam adalah satu dari tiga agama samawi (yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada para utusan-Nya) adalah premis yang tidak bisa dimentahkan, bahkan Islam adalah sebagai penutup dari agama-agama samawi tersebut, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (Ali Imran : 19), Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda : “Perumpamaan diriku dan para nabi sebelumku adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah rumah, dia menyempurnakan dan memperindah bangunannya, hanya tinggal satu batu bata belum terpasang di sudut bangunan, orang-orang pun mengelilingi bangunan tersebut dan terkagum-kagum, mereka berkata : segeralah batu bata itu diletakkan agar bangunannya sempurna, Rasulullah Saw menjawab: saya-lah batu bata itu, dan sayalah penutup para nabi” (HR. Bukhori dan Muslim)

Sebagai agama pamungkas dan paripurna, Islam memiliki konsep yang jelas dalam memandang kehidupan. Lantas bagaimana Islam menawarkan solusi bagi problem kehampaan makna kehidupan? Dalam hal ini, Islam mengarahkan para pemeluknya untuk saleh ritual dan saleh sosial, dimana dua kesalehan ini berimplikasi pada kepuasan jasmani dan ruhani yang merupakan tujuan kehidupan di dunia menurut perspektif Islam. Untuk mencapai tujuan ini, kita dituntut untuk memperhatikan tiga hal, yaitu; Iman (kepercayaan), Islam (kepasrahan) dan Ihsan (kebajikan).

Detail tiga kerangka kehidupan :

Tiga hal berupa iman, islam dan ihsan yang akan membuat kehidupan manusia menjadi bermakna, sejatinya terinspirasi dari hadits Jibril As yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya. Yaitu peristiwa saat Rasulullah Saw berkumpul dengan para sahabatnya, kemudian secara tiba-tiba didatangi oleh malaikat Jibril yang menyamar sebagai sosok manusia tak dikenal di kalangan para sahabat yang hadir saat itu.

Pertama ; Iman, adalah point yang dijadikan skala prioritas, sehingga bapak sosiolog Ibn Khaldun (w : 1406 M) dalam bukunya al mukaddimah menegaskan: akidah adalah inti dari ajaran Islam. Kata “Iman” di sini adalah kepercayaan kita di dalam hati yang dibarengi dengan perilaku dan tindakan secara kasat mata.

Kita dituntut untuk mengimani enam hal yang terangkum dalam rukun Iman, yaitu, percaya akan ke-esa’an Allah, iman kepada para Rasul, percaya pada kesucian kitab-kitab Allah, meyakini keberadaan para malaikat, iman kepada hari akhir, dan percaya kepada ketetapan Allah. Dengan tuntutan untuk meyakini enam hal ini, perjalanan hidup umat manusia tidak hanya terbatas pada sisi lahir, tidak berhenti pada hal-hal yang kasat mata saja. Akan tetapi, kerangka pemikiran kita jauh melampaui hal-hal yang bersifat materi, kehidupan ini akan menjadi penuh makna, sebab dibalik wujud kebendaan yang kasat mata, hati kita terpatri pada rukun iman yang bersifat ruhani.

Namun kita pun bertanya, apa indikasi kevalidan iman seseorang, sehingga bisa dikatagorikan sebagai mukmin dan berimplikasi pada kedamaian ruhani ? Dalam hal ini Rasulullah SAW menjawab : “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, sampai keinginan (hawa nafsunya) mengikuti apa yang telah saya bawa yaitu al Qur’an dan as Sunnah”. (HR. Ibn. Abi ‘Ashim). Dari jawaban ini, kita menjadi faham bahwa validitas iman seseorang bukan hanya pada level kepercayaan dalam hati dan penuturan lisan saja, akan tetapi teruji pada prilaku dan perbuatannya,

Kedua, Islam, arti kata « Islam » di sini adalah; secara sadar dan tidak terpaksa menjalankan lima hal yang biasa disebut dengan rukun Islam. Kewajiban ibadah atas seorang muslim yang terangkum dalam rukun Islam yang lima ini, di samping sebagai inti penciptaan manusia, juga merupakan momen refresing dari kesibukan aktivitas kita. Melalui taqarrub ilallah (ibadah-ibadah) ini, segala kesibukan, beban persoalan dan setumpuk pekerjaan yang kerap membawa kepenatan akan dinetralisir.

Bagaimanapun, melalui pengucapan kalimat syahadat insan relegius akan tersadar bahwa lisan memiliki peran yang vital dalam kehidupan, insan relegius akan menemukan ketenangan jiwa saat melakukan sholat bermunajat kepada Allah, insan relegius akan merasakan kepuasan bathin saat mendengar bahwa dalam hartanya terdapat hak bagi kalangan yang kurang beruntung, insan relegius akan menjadi peka terhadap situasi saat satu bulan penuh harus menahan lapar dan dahaga di waktu siang, dan insan relegius akan tahu diri bahwa atribut keduniaan tidaklah berarti di hadapan illahi saat datang kesempatan mengenakan kain ihram untuk menunaikan ibadah haji.

Ketiga, Ihsan, sebab terpenuhinya dua tahap di atas yaitu Iman (percaya) dan Islam (sadar dan pasrah menjalankan aturan) belum dikatagorikan sempurna apabila kita tidak melengkapinya dengan tahap ketiga, yaitu Ihsan (kebajikan). Dalam hadits Jibril As dijelaskan bahwa Ihsan adalah: « Dengan menyembah Allah seakan-akan kalian melihat-Nya, kalaupun kalian tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Allah selalu melihat kalian ». (HR. Muslim)

Saat melengkapi diri kita dengan Ihsan (kebajikan), kita didorong untuk memupuk etos berkarya selama hidup. Maka, tanpa Ihsan (kebajikan) Iman dan Islam kita akan pincang, dalam al Qur’an ditegaskan: “Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Qs. Ali Imran: 148)

Tahap ihsan (kebjikan) juga telah disinggung oleh Rasulullah Saw, pada satu kesempatan beliau membenarkan ucapan Salman al Farisi kepada Abu Darda Ra, yaitu saat Abu Darda meremehkan hal-hal yang bersifat duniawi dan kurang memperhatikan kondisi keluarganya: « sesungguhnya dirimu, Tuhanmu, tamumu, keluargamu, memiliki hak atasmu, berikanlah hak pada setiap orang yang memilikinya « (HR. al Bukhori)

Kesimpulan :

Setelah kita memahami kerangka beragama yang terdiri dari Iman (keyakinan dalam hati yang dibarengi dengan aplikasi tindakan), Islam (sadar dan pasrah menjalankan perintah dan menjauhi larangan) dan Ihsan (berbuat kebajikan), di mana kerangka beragama yang demikian ini bisa menjadi jawaban atas kritik dari kalangan yang sinis terhadap agama, juga menjadi penegasan bagi kalangan yang skeptis akan keagungan Allah dan eksistensi syari’atnya, maka menjadi benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah SAW lima belas abad yang silam bahwa: “Bahwa agama adalah nasihat, bagi Allah SWT, kitab suci, Rasulullah, para pemimpin dan seluruh umat Islam” (HR. Muslim)

Dengan demikian, di tengah gencarnya proyek globalisasi dalam segala lini kehidupan, di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan media informasi, dan di tengah derasnya perubahan pola berfikir umat manusia, ternyata Agama tetap bertahan sebagai satu-satunya otoritas Ruhani yang menjadi harapan umat manusia untuk mengisi kehampaan makna kehidupan. Wallahu A’lam.