Di saat menjalani kehidupan dunia kita haruslah memiliki sebuah cita-cita. Hidup tanpa cita-cita adalah hidup yang tidak terarah, hidup yang tidak punya prioritas dalam beraktifitas, bahkan hidup yang tidak mampu menghargai makna dari kehidupan itu sendiri. Kalau memang demikian, maka pada hakekatnya perjalanan waktu dalam kehidupan ini hanya merupakan proses menuju pencapaian cita-cita tersebut.
Sebagai seorang muslim haruslah memiliki cita-cita yang islami, sebuah cita-cita yang tidak dimonopoli oleh dan untuk kepuasan pribadi serta bersifat sesaat, akan tetapi cita-cita yang selalu berorientasi jauh kedepan serta mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Untuk itu cita-cita kita haruslah religius sekaligus humanis. Cita-cita seperti itulah yang diharapkan dari setiap individu muslim melalui pelaksanaan ibadah Ramadhan.
Cita- Cita Ramadhan
Di dalam al Qur’an terdapat lima ayat secara berurutan yang berbicara secara lengkap tentang ibadah puasa dalam pengertian terminologi Syar’i, yaitu pada surat Al Baqaroh dari ayat 183 sampai ayat 187. Rangkaian ayat-ayat ini merupakan satu-satunya ayat al Qur’an yang berbicara secara lengkap dan terperinci tentang berbagai permasalahan ibadah puasa, mulai dari hukum dan tujuan pelaksanaannya, cara dan batas waktunya, pantang larang yang harus dihindari saat melaksanakannya, serta bagaimana cara mengganti puasa bagi orang yang tidak sanggup mengerjakannya. Siapa yang ingin memahami permasalahan puasa secara utuh maka pahamilah lima ayat tersebut dengan baik.
Salah satu sisi terpenting dari kandungan lima ayat tersebut adalah muatan cita-cita yang diharapkan dari pelaksanaan ibadah puasa, yang dalam hal ini bisa kita kelompokkan menjadi tiga cita-cita besar, yaitu:
Pertama: لعلكم تتقون" “ (menjadi insan bertaqwa)
Sasaran utama yang ingin dicapai dari ibadah puasa adalah melahirkan sosok- sosok pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT. Taqwa adalah upaya untuk selalu membentengi diri dari berbagai bentuk penyimpangan dari aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, agar tidak terjerumus dan terlanjur salah.
Taqwa adalah suatu kondisi iman dan semangat spiritual yang harus selalu terpatri dalam jiwa seseorang, agar secara berkesinambungan ia selalu merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap gerak langkah aktifitas yang dilakukannya, sehingga dengannya ia termotivasi untuk tetap taat dan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana ia juga akan selalu berusaha untuk menghindari duri-duri di jalan kehidupan. Betapa indahnya perumpamaan yang diberikan oleh Ubay bin Ka’ab ketika beliau ditanya oleh Umar bin Khattab tentang hakikat taqwa. Ketika itu Ubay balik bertanya: “wahai Amirul mukminin, apa yang anda lakukan di saat anda melewati jalan yang penuh duri? Umar manjawab: saya akan meneguhkan pandangan agar langkah kakiku tidak menginjak duri, lalu Ubay berkata: wahai amirulmukminin itulah taqwa.”
Apabila sifat taqwa itu sudah tumbuh subur dalam jiwa seseorang maka ia akan selalu rela dan senang untuk menerima dan melaksanakan aturan Allah, apapun konsekwensi yang akan dihadapinya, meskipun akan mengorbankan sesuatu yang paling dia cintai, atas nama cinta kepada Allah dan Rasulnya. Jika itu berhasil ia lakukan, maka saat itu ia sedang merayakan puncak kemenangan spritualnya.
Semangat ketaqwaan seperti itulah yang diciptakan oleh ibadah puasa, karena dengan berpuasa seseorang dituntut untuk selalu dalam suasana jiwa yang dekat kepada Allah SWT, sebagaimana ia dituntut untuk menghargai waktu agar bisa meraih sekecil apapun peluang ibadah, serta menghindari sekecil apapun peluang dosa yang akan bisa mengurangi atau merusak nilai-nilai puasa. Bahkan dari yang mubah sekalipun jika tidak mendatangkan manfaat apa apa. Oleh Karena itulah Rasulullah membahasakan bahwa “puasa adalah sebagai perisai.”
Kedua: “لعلكم تشكرون “ ( menjadi insan bersyukur)
Sebagaimana yang terdapat pada firman Allah SWT:
“ (QS Al Baqoroh: 185) ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون
Artinya: dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, serta mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepada kamu, supaya kamu menjadi orang yang bersyukur. (QS: Al Baqaroh: 185).
Ini adalah cita-cita kedua yang diharapkan dari pelaksanaan ibadah puasa, karena puasa akan selalu menggiring seorang muslim untuk selalu ingat kepada Allah dalam setiap detik waktu, dengan meningkatkan ibadah dan ketaatan kepada Allah siang dan malam dengan cara sholat, baca alquran, tasbih, istigfar dan lain sebagainya. Sebagaimana ibadah puasa akan mengajak seseorang untuk bersimpuh mengakui sekaligus mensyukuri nikmat dan karunia yang datang dari Allah SWT. Pengakuan dan rasa syukur tersebut sangatlah penting adanya, karena apabila seseorang telah mau mensyukuri dan mengakui bahwa apa yang didapatkan nya adalah karunia dari Allah, maka ia akan selalu berusaha menggunakan nikmat tersebut untuk ketaatan kepadaNya, bukan untuk maksiat atau pembangkangan terhadap hukum dan aturan Allah SWT.
Jika seseorang sudah mampu untuk selalu zikir dan syukur, apalagi jika hal itu sudah menjadi bagian yang tak terpisah dari diri dan kehidupannya, maka itu adalah indikasi dari emosional yang terkendali, sehingga dengannya ia akan selalu menghadapi berbagai persoalan hidup dengan tenang dan percaya diri, dan itu adalah puncak kemenangan emosional. Bandingkan dengan seseorang yang selalu lupa kepada Allah serta tidak mau bersyukur terhadap karunia yang didapatkannya dari Allah, maka ia akan selalu dihimpit oleh berbagai problem kehidupan, khususnya problem kejiwaan yang tak jarang mereka selesaikan dengan cara mereka sendiri. Ada yang dengan cara bunuh diri, ada lagi dengan cara menelan obat-obat atau pil yang mereka anggap akan mampu menenangkan jiwa mereka, dan lain sebagainya. Maka ibadah puasa akan selalu berusaha untuk menutup rapat-rapat pintu yang akan membawa seseorang menuju kekacauan emosional dengan cara zikir dan syukur tersebut.
Dengan zikir dan syukur ini jugalah seseorang akan mampu menghargai orang lain seperti menghargai dirinya sendiri, dan menilai segala sesuatu secara profesional dan proporsional. Karena ia telah menyadari bahwa segalanya sudah menjadi ketentuan dan ketetapan Allah SWT. Sehingga dengannya kelebihan yang ia miliki tidak serta merta menyebabkan dia sombong, sebaliknya kekurangan yang ada pada dirinya juga tidak akan menyebabkan dia merasa minder, karena pada hakikatnya semuanya sama di hadapan Allah dalam hal hak dan kewajiban.
Rasa syukur yang dibangun oleh ibadah puasa mengajak kita untuk tidak sibuk menilai sisi kelebihan dan kekurangan tersebut. Justru yang ada adalah ajakan untuk merasa satu atau memiliki satu perasaan. Inilah salah satu dari rahasianya kenapa zakat fitrah itu diwajibkan kepada semua orang, yang miskin sekalipun. Supaya semua kita pernah merasakan nikmatnya memberi, minimal sekali dalam setahun. Inilah salah satu bentuk didikan yang kita dapatkan dari ibadah puasa.
Ketiga: " لعلهم يرشدون" ( menjadi insan cerdas)
Di antara rangkaian ayat-ayat puasa itu adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
( QS Al Baqoroh: 186) "...فليسجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون "
Artinya: hendaklah mereka mereka memenuhi sagala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, supaya mereka selalu (cerdas) berada dalam kebenaran. (QS Al Baqoroh: 186).
Ini adalah harapan lain yang ingin dicapai dengan melaksanakan puasa, yang akan melengkapi dua cita-cita sebelumnya, yaitu membangun kecerdasan intelektual (al rusyd). Cerdas intelektual adalah salah satu sifat positif yang harus dimiliki oleh setiap individu muslim, karena ia akan memberikan keseimbangan pada diri, pemikiran, perasaan dan naluri. Sebagaimana ia akan menjauhkan kita dari fenomena jati diri yang kabur dan tak berkepribadian yang jelas, yang cendrung tak berbobot lagi egois.
Namun ada satu hal harus kita pahami, bahwa terminologi kecerdasan intelektual dalam Islam tidak mesti berbanding sama dengan teori kecerdasan yang dipahami oleh banyak orang. Selama ini, banyak orang yang mengukur kecerdasan lewat pencapaian- pencapaian angka dalam batas tertentu. Sehingga seorang anak dikatakan cerdas apabila nilai rata-ratanya di sekolah sembilan atau sepuluh. Seorang mahasiswa dianggap cerdas ketika ia sudah mampu menghafal banyak diktat perkuliahannya, begitu seterusnya. Sementara di dalam Islam kesuksesan dan kecerdasan diukur secara proporsional antara kwalitas dan kwantitas. Kecerdasan ada pada mereka yang menempatkan ilmu di hati bukan sekedar di lidah dan retorika saat berdiskusi. Inilah makna ayat di atas bahwa kecerdasan (al rusyd) ada pada mereka yang istijabah dan selalu memupuk keimanan. Dengan demikian seoarang anak dianggap cerdas bukan semata-mata karena ia telah meraih angka 9 atau 10, akan tetapi diukur sejauh mana pelajaran–pelajaran itu berpengaruh positif dalam kehidupannya. Seorang dianggap cerdas bukan sekedar sudah mengetahui bahwa 1 kg itu sama dengan 10 ons, akan tetapi dianggap cerdas ketika pengetahuan itu diterapkannya di saat ia menjadi seorang pedagang. Sistem pendidikan seperti inilah yang diterapkan oleh Rasulullah SAW dalam mendidik para sahabatnya, sehingga beliau memutuskan untuk mengirim Mush’ab bin `Umair menjadi duta dakwah ke Madinah, padahal Mush’ab ketika itu bukanlah orang yang paling banyak hafalan al Qur’annya.
Kecerdasan intelektual dalam perspektif Islam ditandai dengan apabila:
• Selalu bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram
• Selalu mempertimbangkan antara manfaat dan mudharat
• Selalu mengerti akan hak dan kewajiban.
Kecerdasan seperti inilah yang selalu ingin dibina oleh ibadah puasa pada setiap pribadi muslim. Karenanya, puasa selalu menuntut kita untuk selalu hati-hati dalam bertindak, bersikap dan berucap, agar tidak menodai nilai-nilai puasa yang sedang dikerjakan. Kalau tidak bisa maka seseorang tidak akan mendapatkan apa-apa dari puasanya selain menahan lapar dan haus saja.
Inilah tiga cita-cita besar yang diharapkan terwujud secara nyata dalam setiap pribadi muslim melalui pelaksanaan ibadah puasa. Sebagai seorang muslim yang setiap tahun melaksanakan ibadah Ramadhan, harus selalu menginstropeksi dirinya di setiap penghujung hari Ramadhan, agar ia tahu sudah sejauh mana cita-cita dan harapan dari puasa (kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual) itu sudah berhasil diraih. Intropeksi itu menjadi penting untuk dilakukan agar Ramadhan tidak menjadi sebatas rutinitas tahunan. Wallahua’lam bish Showaab.