Dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca-tsunami di Aceh dan sekitar yang disusul dengan berbagai bencana di beberapa daerah di Tanah Air, paling tidak ada dua "penderitaan" yang dialami oleh bangsa Indonesia, khususnya anak-anak.
Pertama, kemiskinan konvensional. Penderitaan anak-anak Indonesia disebabkan orangtuanya miskin secara ekonomi. Kekurangan sandang, pangan, dan papan menyertai kehidupan sehari-harinya. Usia yang mestinya mereka gunakan untuk belajar di sekolah-sebagaimana yang dialami anak-anak pada umumnya-mereka gunakan untuk membantu orangtuanya mencari nafkah.
Kedua, menderita karena musibah. Pasca-tsunami di Aceh dan sekitarnya, di beberapa daerah di Tanah Air diterpa bencana berupa kekeringan, banjir, gempa, gunung meletus, dan lain-lain. Inilah deretan peristiwa yang datang tiba-tiba. Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya menimpa orang-orang miskin, tetapi juga orang kaya. Anak-anak yang semula berlimang kesenangan dalam "pelukan" orangtua yang ekonominya mapan, tiba-tiba jatuh miskin. Sedikit banyak, bencana-bencana itu menimbulkan keprihatinan dan trauma. Secara psikologis, perasaan dan ketenteraman jiwa anak-anak akan terganggu.
Fitrah Manusia
Dua "penderitaan" yang kini dialami oleh anak-anak Indonesia harus segera diatasi agar perkembangan dan pertumbuhannya berjalan normal, terutama soal pendidikannya. Mereka harus dilatih dan dididik menurut minat dan bakat. Anak-anak harus disiapkan menjadi penerus perjuangan bangsa dengan berbagai ketererampilan yang kelak bisa menopang kehidupannya. Menyiapkan generasi muda yang tangguh merupakan kewajiban orangtua dan seluruh komponen bangsa. Bahkan kita harus khawatir jika kelak meninggalkan generasi yang lemah, baik mental maupun moralnya (QS An-Nisa [4]: 9).
Dalam ayat lain disebutkan bahwa mencintai anak dan harta benda merupakan fitrah manusia serta anak dan harta yang "disalehkan" akan bisa dipetik manfaatnya (QS Al-Kahfi [18]: 46). Itu semua merupakan tabungan yang akan kita dapatkan kelak di akhirat. Harta yang disedekahkan dan anak-anak yang didik menjadi saleh akan menjadi kebajikan yang sangat istimewa. Keistimewaan anak saleh terletak pada doa dan permohonan ampun mereka untuk kedua orangtuanya. Lain halnya dengan anak yang durhaka. Mereka bukannya akan mengangkat kedudukan orangtua, malah jadi beban pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Dalam Al-Quran terdapat kisah mengenai cita-cita dan harapan istri Imran terhadap anaknya ketika masih dalam kandungan (QS Ali Imran [3]: 35). Nazar mulia istri Imran adalah tekadnya untuk menjadikan anak yang dikandungnya kelak itu lahir, akan ia jadikan muharrar, seorang anak saleh, yang tidak disibukkan oleh persoalan-persoalan duniawi, tetapi secara khusus mengonsentrasikan diri mendalami agama ("ulama"). Inilah sebuah cita-cita dan harapan orangtua yang patut kita teladani. Oleh karena itu, di antara sekian banyak anak yang kita miliki, salah satunya harus ada yang mengkhususkan diri untuk mempelajari agama.
Generasi Rabbani
Generasi yang memiliki ilmu yang memadai dan kepribadian yang saleh, dalam bahasa Al-Quran itu disebut "generasi rabbani" (QS Ali Imran [3]: 79). Tidak banyak memang orang yang mampu menyiapkan generasi berilmu dan bertakwa. Bahkan banyak yang mengabaikan. Banyak orang yang bercita-cita memiliki generasi yang baik, yang bisa melanjutkan perjuangan membangun bangsa dan negara, namun sedikit sekali yang sukses. Langkah-langkah mendidik anak yang sehat jasmani dan sehat rohaninya, paling tidak bisa kita temukan dari pola yang diterapkan oleh Luqman Al-Hakim. Ia adalah seorang bijak yang namanya diabadikan dalam Al-Quran berkat nasihat-nasihatnya terhadap anaknya.
Ada empat langkah yang ditempuh Luqman Al-Hakim dalam mendidik anak, yaitu:
(a) menanamkan dan memantapkan nilai-nilai akidah serta terbebas dari kemusyrikan. ini adalah landasan utama keberagamaan generasi kita (QS Luqman [31]: 13),
(b) menyuruh berbuat baik kepada orang tua (QS Luqman [31]: 14),
(c) menyuruh salat dan menganjurkan bersabar dalam beramar makruf nahi munkar (QS Luqman [31]: 17), dan
(d) menanamkan sikap-sikap dan perangai terpuji, seperti tidak boleh sombong dan angkuh baik dalam ucapan maupun tindakan (QS Luqman [31]: 18-19).
Itulah dasar-dasar dan tahapan-tahapan pendidikan yang diajarkan Luqman kepada anaknya. Semuanya itu memang sangat sistematis. Mulai dari yang utama, yaitu mengenai dasar-dasar keimanan, hingga akhlak sehari-hari, cara berjalan dan bertutur kata. Jika seorang anak telah memiliki dasar iman yang kuat dan sifat-sifat pribadi yang terpuji, maka generasi rabbani yang kita dambakan akan terwujud. Dengan demikian, masa depan bangsa hanya dapat dipercayakan kepada anak-anak yang cerdas, terampil dan bermoral. Jika selama ini pendidikan hanya berorientasi pada kecerdasan dan keterampilan, harus ditambah dengan orientasi pada keluruhan budi pekerti. Sebab, carut marutnya bangsa ini bukan karena manusia Indonesia tidak cerdas atau tidak terampil, tetapi karena sedikitnya orang yang bermoral atau punya nurani. Penekanan pada pendidikan yang bermoral agama menjadi sangat penting dan karena itu pula, cita-cita istri Imran dan pola pendidikan terhadap anak yang dipraktikkan Lukman seperti yang telah dijelaskan di atas patut kita teladani dan terapkan. Generasi kaum Muslim yang dapat dijadikan panutan dan dambaan umat masa depan adalah mereka menguasai iptek, kuat imtak, dan anti-kekerasan.
1 comment:
Saya tertarik dengan artikel bagus ini jadi menginspirasi untuk membuat artikel sejenis. Walau lawas, tapi berguna setidaknya untuk saya.
Post a Comment