Oleh : Muhammad Yusuf Siddik
Sekilas terasa sedikit aneh jika kita menggandengkan antara Hadis Rasul yang selalu dikenal sebagai acuan kita dalam beribadah dengan ekonomi yang lebih condong kepada keduniaan. Keterasingan ini memang memiliki alasan tersendiri karena umat Islam Indonesia pada khususnya dan umat Islam global pada umumnya terlalu lama dipaksa atau terpaksa memisahkan Islam dari segenap kehidupan bisnis dan ekonominya. Namun jika ditelusuri lebih dalam, banyak sekali nilai yang disampaikan oleh Rasulullah berkaitan erat dengan upaya peningkatan taraf hidup masyarakat guna tercipta moslem society yang berperadaban dan memiliki ekonomi maju.
1. Rasulullah mengenalkan istilah itqan yang lebih tepat jika diterjemahkan dengan profesionalitas. Kita dituntut untuk mampu bersaing di kancah perekonomian dunia yang semakin hari semakin mengglobal dan tanpa batas. Kita akan terpuruk oleh desakan negara-negara maju jika kita tidak memiliki profesionalitas tinggi dan selalu mengandalkan tenaga profesional asing dan barang impor.
2. Rasulullah juga melarang umatnya hidup dengan cara « konsumtif /berlebihan». Ini juga termasuk yang paling vital dalam membangun taraf hidup masyarakat. Sebab cara hidup yang berlebihan membuat manusia tidak mampu memilah kebutuhan dan mengklompokkannya ke dalam skala prioritas.
3. Hidup yang produktif. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk selalu bekerja untuk keduniaan seolah-olah kita akan hidup selama-lamanya. Beliau menggandengkan 3 kata yaitu ; kerja keduniaan, hidup dan selama-lamanya (masa depan) yang berarti, kita tidak hanya dituntut untuk bekerja, tapi bekerja yang menghasilkan (produktif) dan berwawasan ke depan.
4. Rasulullah menganjurkan kita untuk membagi perut menjadi 3 bagian, 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman dan 1/3 lagi untuk pernafasan. Anjuran ini memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi jika kita terapkan dalam kehidupan finansial seseorang. Penghasilan kita hendaknya dibagi kepada 3 yaitu, 1/3 untuk kebutuhan primer, 1/3 untuk kebutuhan skunder dan 1/3 untuk menabung (bernafas/kebutuhan insidentil).
5. Beliau juga mewanti-wanti kita agar tidak terjerat hutang, dan berupaya semaksimal mungkin untuk segera melunasi. Bahkan dalam sebuah haditsnya beliau mengajarkan kita untuk meminta perlindungan Allah SWT dari sifat pengecut, bakhil, lemah, pemalas dan terbelit hutang. Pesan ini jika benar-benar direnungkan olah penguasa negeri kita tercinta, Indonesia akan mampu melepaskan diri dari krisis ekonomi yang melanda. Sebab faktor utama penyebab terpuruknya Indonesia ke dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, adanya tunggakan hutang yang berupa dolar, sementara rupiah jatuh pada posisi yang paling rendah sepanjang sejarah.
6. Rasulullah juga menganjurkan kita untuk berpetualang, menjelajahi dunia dan mengenal bahasa asing sebagai anjuran agar kita memiliki orientasi ekspor dalam berdagang. Hal ini tidak hanya dianjurkan beliau dalam kata-kata, namun dibuktikan dalam perbuatan saat beliau berdagang dari Mekkah ke Syam dengan membawa dagangan saudagar « Khadidjah ». Pesan ini juga hendaknya menjadi renungan kita, sebab menurut catatan Econit pada semester awal 2001 laju pertumbuhan impor Indonesia tak kurang dari 30 persen sementara pertumbuhan ekspor hanya 7-8 persen. Adanya net ekspor yang negatif ini sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada umumnya (Republika, 5/9/2001).
7. Baginda Rasul juga melarang kita membiarkan lahan terbengkalai, mati tanpa dimanfaatkan dengan bercocok tanam. Bahkan lahan yang belum dikenal pemiliknyapun boleh kita tanami, selagi belum ada yang mengakui kepemilikannnya. Ironis sekali, Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan yang sangat luas, namun ternyata untuk kebutuhan sehari-hari saja masih mengimpor dari luar.
8. Beliau juga menganjurkan kita berbisnis, bahkan dalam hadits beliau yang dikutip Mawardi « usaha yang paling diberkati Allah adalah berdagang ». Dan ini terbukti, bisnis adalah lahan yang paling menguntungkan dan menjanjikan.
Masih banyak prinsip-prinsip ekonomi yang gariskan oleh Rasulullah lewat hadits-hadits beliau yang tidak mungkin dijabarkan dalam artikel kecil, namun perlu dibahas lebih mendalam oleh ekonom-ekonom yang berwawasan keislaman. Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment