Oleh : Syariful Hidayat
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
" Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (Ath-Thalaq : 3)
Hidup merupakan rangkaian dari peristiwa dan kejadian. Manusia diciptakan sebagai pelaku aktif dalam merespon kejadian dan peristiwa itu. Ada hal-hal yang harus diupayakan dan ada pula yang merupakan “jatah” kehidupan.
Kita tidak bisa memilih dilahirkan dimana dan pada keluarga apa. Tetapi kita selanjutnya diminta untuk melakukan banyak pilihan hidup yang pada akhirnya menentukan perbedaan. Begitu pula realita kehidupan lainnya. Baik atau buruk, harus kita hadapi dengan emosi yang matang. Tanpa emosi yang matang, apa yang selama ini kita kehendaki hanya akan menjadi harapan tanpa kenyataan. Apalagi apatis dengan kenyataan, tak mungkin merubah keadaan.
Dengan demikian, seorang muslim yang telah memahami hakikat hidupnya di dunia dengan benar, menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat merupakan sebuah konsekuensi. Dalam menjalani hidup, selalu dia orientasikan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ia akan selalu meningkatkan nilai keunggulannya dan kompetensi dirinya. Ia terus bergerak bak aliran air yang terus mengalir menuju muara idealismenya. Seraya menghasilkan percikan-percikan nan indah. Percikan yang mampu menelurkan “semangat baru” dan energi dahsyat.
Konsekuensinya, tak ada kamus menyerah dalam jiwanya. Ia senantiasa husn ad-dzan (baik sangka) terhadap apa yang Allah gariskan. Sabar, tawakal dan ikhtiar merupakan potensi rahasia kesuksesan hidupnya. Baginya, standar kebahagiaan hanya ridla Allah.. Komitmennya adalah selalu berbuat yang terbaik dan tabah dengan segala konsekuensinya (baik atau buruk). Inilah buah dari kematangan emosi yang digali dari pemahaman hakikat diri secara Islami.
Sungguh ironis apabila seorang muslim menyerah dan berputus asa dalam menjalani kehidupannya. Padahal konsepsi yang benar (akidah Islam) terhadap alam, manusia dan kehidupan ada dalam genggaman mereka. Akidah yang mampu melejitkan potensi manusia demi menggapai kebahagian dunia dan akhirat.
Jadi kenapa kita mesti apatis dan menyerah dengan keadaan? Padahal Allah SWT. berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS:2:216).
Beberapa hal dapat kita lakukan untuk mengembangkan dan melejitkan kemampuan diri. Usaha pertama adalah menancapkan motivasi kuat untuk berbuat. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS: al-Hasyr, 18).
Ayat ini memberikan peringatan bahwa sesungguhnya kita memiliki kewajiban untuk bertakwa (sepanjang waktu) kepada Allah SWT dengan memperhatikan amal-amal perbuatan, demi kesuksesan hari ini dan eksistensi kebaikan esok hari (dunia dan akhirat). Dengan adanya motivasi berbuat yang kuat, insya Allah kita akan selalu berfikir untuk berbuat yang terbaik. Sebab dalam Islam, ada balasan pahala di setiap benih amalan.
Yang kedua adalah tawakkal. Makna tawakkal adalah tsiqah billah (percaya penuh kepada Allah) dan bersandar sepenuhnya kepada-Nya. Kita berikhtiar sekuat tenaga dengan keyakinan penuh bahwa usaha-usaha yang telah kita lakukan akan menghasilkan manfaat atau mudarat hanya dengan izin Allah. Tawakkal akan melahirkan sikap positif. Dan sikap inilah yang akan mengantarkan seseorang menuju kesuksesan.
Di samping itu, sikap optimis mesti hadir di tengah penggalian potensi diri. Tanpa sikap optimis, kita akan tetap menjadi pecundang. Larut dalam kegagalan dan terbelenggu oleh “tirani” pesimistis. Sebaliknya, orang yang bersikap optimis, motivasi untuk berbuat yang terbaik sangat kuat. Kegagalan tak membuatnya kecut. Baginya, kegagalan merupakan awal kesuksesan dan dapat memicu pematangan emosi positifnya.
Beberapa hal di atas, merupakan kriteria sosok sejati. Sosok yang terus belajar dengan mendalami ilmu tanpa menyerah dengan keadaan. Apa jadinya ketika umat Islam menyerah dengan realita keterpurukan umat selama ini? Apa jadinya ketika umat Islam pesimis dengan kebangkitan Islam yang telah Allah janjikan? Umat Islam akan terus terpuruk.
Mestinya umat Islam optimis dan bersabar dalam menapaki perjuangan. Tidak ada kata frustasi untuk berjuang. Begitu pula dalam hal pencapaian target akademis ke-ilmuan, wawasan, bahkan dalam menyukseskan agenda-agenda ke-PPI-an. Segala daya upaya kita dalam meretas jalan kesuksesan tersebut mesti dibarengi dengan semangat, optimisme, motivasi dan penuh kesabaran. Jika hal ini kita tinggalkan, perjuangan hanya akan berujung kegagalan, kerugiaan dan kehinaan layaknya pecundang.
Hidup merupakan rangkaian dari peristiwa dan kejadian. Manusia diciptakan sebagai pelaku aktif dalam merespon kejadian dan peristiwa itu. Ada hal-hal yang harus diupayakan dan ada pula yang merupakan “jatah” kehidupan.
Kita tidak bisa memilih dilahirkan dimana dan pada keluarga apa. Tetapi kita selanjutnya diminta untuk melakukan banyak pilihan hidup yang pada akhirnya menentukan perbedaan. Begitu pula realita kehidupan lainnya. Baik atau buruk, harus kita hadapi dengan emosi yang matang. Tanpa emosi yang matang, apa yang selama ini kita kehendaki hanya akan menjadi harapan tanpa kenyataan. Apalagi apatis dengan kenyataan, tak mungkin merubah keadaan.
Dengan demikian, seorang muslim yang telah memahami hakikat hidupnya di dunia dengan benar, menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat merupakan sebuah konsekuensi. Dalam menjalani hidup, selalu dia orientasikan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ia akan selalu meningkatkan nilai keunggulannya dan kompetensi dirinya. Ia terus bergerak bak aliran air yang terus mengalir menuju muara idealismenya. Seraya menghasilkan percikan-percikan nan indah. Percikan yang mampu menelurkan “semangat baru” dan energi dahsyat.
Konsekuensinya, tak ada kamus menyerah dalam jiwanya. Ia senantiasa husn ad-dzan (baik sangka) terhadap apa yang Allah gariskan. Sabar, tawakal dan ikhtiar merupakan potensi rahasia kesuksesan hidupnya. Baginya, standar kebahagiaan hanya ridla Allah.. Komitmennya adalah selalu berbuat yang terbaik dan tabah dengan segala konsekuensinya (baik atau buruk). Inilah buah dari kematangan emosi yang digali dari pemahaman hakikat diri secara Islami.
Sungguh ironis apabila seorang muslim menyerah dan berputus asa dalam menjalani kehidupannya. Padahal konsepsi yang benar (akidah Islam) terhadap alam, manusia dan kehidupan ada dalam genggaman mereka. Akidah yang mampu melejitkan potensi manusia demi menggapai kebahagian dunia dan akhirat.
Jadi kenapa kita mesti apatis dan menyerah dengan keadaan? Padahal Allah SWT. berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS:2:216).
Beberapa hal dapat kita lakukan untuk mengembangkan dan melejitkan kemampuan diri. Usaha pertama adalah menancapkan motivasi kuat untuk berbuat. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS: al-Hasyr, 18).
Ayat ini memberikan peringatan bahwa sesungguhnya kita memiliki kewajiban untuk bertakwa (sepanjang waktu) kepada Allah SWT dengan memperhatikan amal-amal perbuatan, demi kesuksesan hari ini dan eksistensi kebaikan esok hari (dunia dan akhirat). Dengan adanya motivasi berbuat yang kuat, insya Allah kita akan selalu berfikir untuk berbuat yang terbaik. Sebab dalam Islam, ada balasan pahala di setiap benih amalan.
Yang kedua adalah tawakkal. Makna tawakkal adalah tsiqah billah (percaya penuh kepada Allah) dan bersandar sepenuhnya kepada-Nya. Kita berikhtiar sekuat tenaga dengan keyakinan penuh bahwa usaha-usaha yang telah kita lakukan akan menghasilkan manfaat atau mudarat hanya dengan izin Allah. Tawakkal akan melahirkan sikap positif. Dan sikap inilah yang akan mengantarkan seseorang menuju kesuksesan.
Di samping itu, sikap optimis mesti hadir di tengah penggalian potensi diri. Tanpa sikap optimis, kita akan tetap menjadi pecundang. Larut dalam kegagalan dan terbelenggu oleh “tirani” pesimistis. Sebaliknya, orang yang bersikap optimis, motivasi untuk berbuat yang terbaik sangat kuat. Kegagalan tak membuatnya kecut. Baginya, kegagalan merupakan awal kesuksesan dan dapat memicu pematangan emosi positifnya.
Beberapa hal di atas, merupakan kriteria sosok sejati. Sosok yang terus belajar dengan mendalami ilmu tanpa menyerah dengan keadaan. Apa jadinya ketika umat Islam menyerah dengan realita keterpurukan umat selama ini? Apa jadinya ketika umat Islam pesimis dengan kebangkitan Islam yang telah Allah janjikan? Umat Islam akan terus terpuruk.
Mestinya umat Islam optimis dan bersabar dalam menapaki perjuangan. Tidak ada kata frustasi untuk berjuang. Begitu pula dalam hal pencapaian target akademis ke-ilmuan, wawasan, bahkan dalam menyukseskan agenda-agenda ke-PPI-an. Segala daya upaya kita dalam meretas jalan kesuksesan tersebut mesti dibarengi dengan semangat, optimisme, motivasi dan penuh kesabaran. Jika hal ini kita tinggalkan, perjuangan hanya akan berujung kegagalan, kerugiaan dan kehinaan layaknya pecundang.
Nomor 24/Edisi V/Th. I
No comments:
Post a Comment