Friday, April 07, 2006

Mencintai Nabi

Oleh : Nasrulloh Afandi

Sungguh luar biasa umat Islam seantero dunia. Mereka bereaksi keras bahkan sampai sekarang belum juga reda. Sebabnya, pada 30 September 2005 lalu, koran Jyllands-Posten, Denmark, memuat karikatur Nabi Muhammad SAW yang digambarkan sebagai sosok bersurban bom yang siap menebar teror.

Benarkah Mereka Mencintai Nabi ?

Reaksi keras ini hendak menyatakan, ''Pemuatan karikatur itu menginjak-injak martabat muslim sedunia dan menodai kehormatan Islam. Karena Muhammad adalah Nabi sekaligus Rasul yang sangat mereka cintai''. Sekilas, pernyataan ini sungguh meyakinkan!

Pertanyaannya: benarkah kemarahan muslim sedunia itu adalah bukti kecintaan mereka kepada Nabi?

Terus terang, saya meragukan kecintaan mereka!. Nabi Muhammad sendiri tidak pernah marah kalau ada yang menghina dan mencacinya.

Yang saya pahami, semua itu adalah luapan emosi semata; kemunafikan yang dikemas bingkai “cinta Nabi”. Kecintaan mereka yang mengamuk itu, menurut saya cukup diragukan. Buktinya, mereka tidak mengindahkan ajaran sang Rasul dengan fenomena semakin keroposnya pengamalan agama dalam totalitas kehidupan mereka sehari-hari.

Inilah penyakit “egoisme dan sok suci” yang telah kronis menjangkit umat Islam dewasa ini. Mereka cenderung mudah terprovokasi dan ringan menyalahkan pihak lain.

Mereka asyik membanggakan simbol-simbol agama. Kalimat ''Allahu Akbar'' gemuruh diteriakkan, sementara amaliah individual apalagi komunitasnya sangat tidak religius. Mereka gemar melakukan kerusakan di muka bumi ini, memprovokasi orang lain untuk membakar gereja atau diskotik yang jelas merugikan hak komunitas lain, tindakan yang dilarang oleh justru oleh syariat Islam itu sendiri. Begitukah anjuran Nabi SAW?

Naifnya lagi, mereka jarang sekali mengintrospeksi diri, bertanya kepada diri sendiri: sejauh manakah kecintaan mereka kepada sang Nabi yang diagungkan dan tidak boleh “disentuh” oleh orang lain itu?

Esensi Cinta Rasul

Pada musim haji tahun ini (beberapa bulan lalu). Sebagaimana setelah atau sebelum puncak ibadah haji (Arafah-Mina), jamaah haji dari berbagai negara, tak terkecuali Indonesia, silih berganti memasuki masjid Nabawi dengan tujuan utama makam Nabi Muhammad SAW : Raudhah.

Tak sedikit jamaah haji yang sengaja saling “menyakiti” dengan saling dorong karena padat berdesakan hanya demi melaksanakan sunnah berziarah kepada sang Nabi yang bukan merupakan kewajiban Islam, bukan pula rukun haji. Katanya demi ekspresi cinta kepada Rasulullah SAW. Benarkah?

Diantara rutinitas di masjid nabawi, ada pengajian setelah shalat Maghrib sampai dengan shalat Isya. Pengajian diisi oleh seorang seikh dan terbuka untuk umum. Beberapa pengajian dengan beberapa syeikh bisa ditemukan sekaligus. Siapapun jamaah haji yang berminat, diperbolehkan duduk di sekeliling syeikh.

Suatu saat. Ketika jamaah haji berdesakan (bahkan banyak yang saling dorong) untuk mendekat ke makam Rasulullah SAW, tiba-tiba di tengah-tengah menyampaikan materi pengajian, syeikh itu berkata dengan lirih kepada hadirin di sekitarnya, “Tindakan jamaah haji itu kurang tepat. Tidak perlulah memaksakan diri, apalagi saling dorong untuk mendekat ke makam Rasulullah itu”.

Ketika itu, spontan saya memberanikan diri untuk bertanya, “bagaimana syeikh, kalau hal itu muncul dari kecintaan mereka yang telah lama mengimani kebesarannya, namun baru sekarang mendapat kesempatan untuk menziarahinya?”

Syeikh itu menjawab, “ziarah kepada Rasulullah cukup sekali saja. Cinta kepada Rasul, tidak harus beribu-ribu kali berziarah ke makamnya atau meletup-letup di muka umum mengumandangkan namanya. Yang terpenting adalah menjalankan ajarannya dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya. Itulah bukti cinta sejati umat Islam kepada Nabi Muhammad”.

Sebuah Renungan

Banyak orang di muka umum, mulutnya berbusa-busa bahkan meletup-letup mendengungkan nama Nabi Muhammad SAW, mudah menyalahkan orang lain karena dianggap melecehkan Nabi junjungannya, namun dalam kehidupan sehari-hari, jarang disadarinya sering bahwa ia sering melanggar ajarannya.

Misalnya, mudah menghujat golongan lain; terbiasa mengoreksi kesalahan orang lain dan jarang mengoreksi diri sendiri; menyerbu markas-markas Islam yang dianggap tidak sefaham; meledakkan bom membunuh ribuan orang yang tak berdosa dengan alasan jihad; terbiasa mengganggu aktivitas orang lain dengan mengerahkan massa turun jalan yang juga sering tidak jelas sebab-tujuannya.

Apakah itu semua bukti pencinta sang Nabi termulia yang membawa misi rahmatan lil alamin (kedamaian untuk semuanya) ?. Begitukah sikap orang yang “jatuh cinta” untuk meraih cinta dari kekasih (Nabi)nya itu?

Bukankah diantara tanda cinta sejati adalah mengindahkan segala perintah dan larangan kekasihnya?. Bukankah tidak memenuhi anjuran kekasihnya, sama dengan tidak mencintai atau melecehkan pribadi sang kekasih itu?

Bukankah Nabi diejek-dihina tidak pernah membalasnya, bahkan dengan bijaksana berbaik hati pada musuh-musuhNya; dengan ramah diajak ke jalan yang benar? Bukankah Nabi berdakwah dengan arif–bijaksana sehingga lebih mengena, daripada dakwah dengan arogansi berdemonstrasi yang sering tanpa fungsi dan menyebabkan banyak kerugian materi?

Adalah melenceng dari eksistensi “cinta Nabi” (ajaran Nabi Muhammad), bila ummat-Nya sekarang sangat egois (dalam beragama) dan mudah terprovokasi.

Kalaulah kita benar-benar komunitas pencinta Nabi Muhammad yang berakhlak mulia dalam berbagai sendi kehidupan dengan melangitkan misi: rahmatan lil alamain, pastilah kita pun segera merenung untuk introspeksi diri, karena kita sangat malu kalau tidak “sehati” dengan segala sikap dan moralitas “sang kekasih” (Rasul kita).
Nomor 23/Edisi V/Th. I

No comments: