Dedy W Sanusi
Allah SWT Berfirman :
لإن شكرتم لأزيدنكم و لإن كفرتم إن عذابي لشديد
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kami mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim, 7).
Tema kebahagiaan telah menjadi bahan pikiran para filosof jauh sebelum agama Islam datang. Ada yang mengatakan, Plato misalnya, kebahagiaan adalah kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang diperoleh dengan menjaga kebersihan jiwa dan menghiasinya dengan kualitas-kualitas terpuji, seperti kemulyaan, keberanian dan kearifan. Bagi kelompok ini, kelezatan material justru mencederai kebahagiaan. Karena kebahagiaan letaknya di jiwa, bukan di badan, maka kebahagiaan hakiki hanya dapat diperoleh ketika jiwa lepas dari badan, setelah kematian.
Ada juga yang mengatakan, sebagaimana Aristoteles, kebahagiaan adalah proses menuju kesempurnaan. Kebahagiaan yang mengendarai dua kendaraan ; badan dan jiwa. Kelezatan material, bagi kelompok ini, bisa dikondisikan untuk juga mendapatkan kelezatan immaterial, kelezatan jiwa. Menurut kelompok ini, sepanjang manusia hidup di dunia ini, berbuat baik, berpikir benar, terus berusaha mendapatkan sifat-sifat terpuji, baik untuk dirinya maupun keluarganya dan berusaha untuk membumikan perbuatan-perbuatan yang diridhai oleh Allah dalam masyarakatnya, maka orang ini adalah orang yang berbahagia.
Kelompok ini merinci kebahagiaan pada lima tempat : Pertama, kesehatan badan dan kelengkapan fungsi panca indera. Kedua, harta yang digunakannya untuk berbuat kebaikan. Ketiga, memiliki citra yang baik dihadapan orang lain, karena perbuatannya yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain. Keempat, sukses dalam cita-citanya. Kelima, memiliki pikiran dan keyakinan yang benar dan lurus, baik dalam agamanya maupun urusan-urusan yang lain, selamat dari kesalahan dan kekeliruan dan pikiran-pikirannya menjadi rujukan orang lain dalam memutuskan segala sesuatu.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya : al-Wabil as-Shayyib min al-Kalim at-Thayyib mengemukakan tiga cara untuk mendapatkan kebahagiaan. Menurut beliau, kehidupan ini tidak lepas dari tiga kondisi : pertama, kita mendapat kenikmatan. Kedua, kita mendapat musibah. Ketiga, kita kadang-kadang tergelincir berbuat dosa. Seorang hamba Allah, bisa mendapatkan kebahagiaan dalam tiga kondisi ini, asal dia tahu bagaimana cara menghadapinya.
Firman Allah dalam Al Quran :
لإن شكرتم لأزيدنكم و لإن كفرتم إن عذابي لشديد
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kami mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim, 7).
Kondisi pertama, ketika kita berhadapan dengan nikmat, kita mesti menghadapinya dengan bersyukur. Sebab jika tidak, nikmat ini tidak lagi memberi kita kebahagiaan, tetapi bahkan menjadi sumber kesengsaraan. Syukur adalah cara kita menjadikan nikmat yang kita peroleh tetap berada dalam jalur yang benar. Jalur yang diterangi oleh akal yang sehat dan petunjuk agama yang benar dan lurus.
Syukur tersusun dari tiga bagian. Pertama adalah kesadaran bahwa segala nikmat yang kita peroleh adalah semata-mata karunia Allah SWT. Kenikmatan ini, mencakup seluruh sumber kebahagiaan, baik yang material maupun immaterial. Kalau Allah mengambil kesehatan kita misalnya, betatapun harta kita banyak, kita tidak akan bisa menikmatinya. Maka kesadaran bahwa kenikmatan dari Allah, adalah sikap mental yang harus kita bangun di hadapan kenikmatan tak habis-habis yang Allah berikan kepada kita. Kedua, kalau kita mesti menyatakan, karena kita berinteraksi dengan orang lain, setidaknya lidah kita berucap Alhamdulillah terhadap nikmat yang kita peroleh. Ketiga, menggunakan kenimatan yang kita dapatkan untuk mendapatkan ridla Allah SWT. Kita keluarkan hak badan dan harta kita sesuai dengan dengan perintah Allah. Ayat di atas sangat jelas mengecam kita untuk jangan coba-coba menggunakan kenikmatan yang kita peroleh untuk semata-mata memenuhi hawa nafsu kita. Azabnya amat pedih, cepat atau lambat.
Banyak orang dengan senang hati menyembah Allah dalam kondisi lapang dan serba ada. Tetapi tidak banyak dari mereka yang tetap menyembah Allah dalam kondisi sulit dan serba kekurangan. Padahal, dalam kondisi terakhir ini, Allah memberikan keistimewaan kepada hambanya, kalau ia tetap mempertahankan bahkan menambah kekuatan hubungannya dengan Allah SWT. Maka kewajiban kita ketika kita berhadapan dengan cobaan, ujian dan musibah adalah bersabar.
Bersabar mengajarkan kita untuk memutus hubungan hati dengan selain Allah. Betapapun kita mencintai harta dan keluarga, akan tiba saatnya, kita mesti berpisah dengannya. Tetapi kapan dan dimanakah kita bisa berpisah dari Allah?. Oleh karena itu, sabar menjadi sarana bagi kita untuk tetap dalam rel agama ketika kita ditimpa bencana. Sabar tersusun dari tiga unsur, pertama: menahan diri untuk tidak menyalahkan keputusan Allah atas musibah yang menimpa kita. Kedua, manahan lidah untuk tidak mengeluh. Ketiga, menahan badan untuk tidak berbuat dosa. Kalau kita dapat berlaku sabar dengan tiga unsur ini, insya Allah, --sebagaimana kata Ibnu al-Qayyim—kita bisa merubah cobaan menjadi anugerah, ujian menjadi pemberian dan sesuatu yang kita benci menjadi sesuatu yang kita cintai. Contoh gampangnya adalah seorang petinju mau mukanya sakit dan benjol biru, demi mendapatkan hadiah uang yang banyak. Bukankah dalam ayat al-Qur’an Allah berfirman:
إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (az-Zumar, 10)
Semoga kita termasuk orang-orang yang tetap disiplin beribadah kepada Allah, baik dalam kondisi lapang atau sempit, senang atau susah.
Friday, December 08, 2006
Mencari Kebagagiaan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment