Friday, November 03, 2006

Hakikat Fitrah Manusia

Oleh : Husnul Amal Mas’ud

Tanpa terasa, 10 hari sudah Ramadan berlalu. Bulan tempat menempa diri, menguji kesungguhan untuk menggapai surga dengan segala kemudahan dan keistimewaan di dalamnya. Mudah karena sepanjang Ramadan, pintu-pintu surga dan rahmat dibuka oleh Allah seluas-luasnya, sehingga terasa ringan badan dan jiwa menjalankan segala macam ibadah. Istimewa karena begitu besar perhatian Allah terhadap segala amalan hambanya di bulan tersebut; amalan yang sunah diberikan pahala seperti amalan wajib, dan amalan yang wajib dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Pintu-pintu ampunan dibuka sedangkan pintu-pintu neraka ditutup, bahkan setan pun dibelenggu untuk mengurangi potensinya menyesatkan manusia.

Pada bulan Syawal ini manusia telah kembali berada pada fitrahnya, asal kejadiannya yang masih suci dan murni. Bulan fitrah yang selalu di awali dengan perayaan Idul Fitri setelah menjalankan ritual puasa dan amalan-amalan yang disyariatkan oleh Allah selama Ramadan,

Sayyid Qutb membagi fitrah kepada dua macam: Pertama, fitrah manusia, yaitu bahwa potensi dasar yang ada pada manusia adalah untuk menuhankan Allah dan selalu condong kepada kebenaran. Kedua, fitrah agama, yaitu wahyu Allah yang disampaikan lewat para rasulnya untuk menguatkan dan menjaga fitrah manusia itu. Kedua macam fitrah ini adalah diciptakan dan bersumber dari Allah SWT. Oleh karenanya, antara fitrah manusia dan fitrah agama tidaklah akan pernah terjadi pertentangan karena keduanya mengarah kepada tujuan yang satu, kebenaran dan kesucian jiwa yang menjadikan manusia kembali dan dekat kepada sang penciptanya, Allah SWT.

Allah SWT berfirman :
“(dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-A’raf : 19)

Perhatikan dialog Allah SWT dan Adam AS pada ayat tersebut. Allah SWT berbicara kepada Adam dengan menggunakan perkataan “pohon ini” yang mengisyaratkan kepada kedekatan jarak antara Adam dan Rabbnya. Itulah nuansa kedekatan yang dihadirkan ketika Adam dan Hawa patuh kepada ketetapan Tuhan, ketika Adam dan Hawa masih dalam fitrah asal kejadiannya.

Namun perhatikan bagaimana Allah menegur Adam AS dan Hawa ketika keduanya terlanjur terbujuk rayuan setan untuk menjamah pohon larangan : “Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (QS. Al-A’raf : 22)

Ya, ketika Adam memilih menyalahi fitrah, tidak patuh (maksiat) terhadap perintah Allah, terciptalah jarak yang menyebabkan Adam jauh dari Rabbnnya sehingga Allah memilih kata “pohon itu” pada dialog ayat tersebut.

Inilah hakikat fitrah manusia. Apabila mereka taat dan patuh pada perintah Allah, mereka akan selalu dekat dengan-Nya. Apabila ia dekat dengan Tuhannya, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan setiap saat. Ia akan merasa bahwa setiap perilakunya, gerak geriknya berada dalam pengawasan Allah. Seumpama seorang bintang film yang sedang berada di depan kamera, segala gaya dan mimiknya akan direkam dan hasilnya akan dipertontonkan nanti. Oleh karenanya si bintang film akan berusaha semaksimal mungkin menjalankan perannya, berakting dengan penuh penghayatan dan berupaya untuk tidak menyalahi skenario yang telah digariskan.

Jika fitrah manusia telah kembali dan terjaga, timbullah sifat Ihsan dalam dirinya; serasa ia berada dalam perhatian Allah, sehingga menjadikannya tertib dan berhati-hati dalam setiap sikap dan perbuatan. Karena ia sadar bahwa setiap perilakunya sedang direkam dan bakal dipertontonkan di Mahkamah Mahsyar nanti. Inilah kesan dekatnya hamba kepada Tuhannya ketika telah kembali kepada fitrahnya setelah menjalani penempaan selama Ramadan.

Karena itulah, ketika Allah menjelaskan tentang perintah, hakikat, tujuan dan syariat-syariat yang berkaitan dengan puasa Ramadan, di tengah ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan betapa dekatnya Dia dengan hamba-hambaNya :

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186).

Inilah hakikat dan tujuan puasa Ramadan yang telah kita lalui kemarin. Ramadan mengajak manusia untuk kembali kepada fitrah asal kejadian mereka, yaitu dekat dengan Allah SWT. Dengan suasana kedekatan ini, manusia selalu akan merasa sadar akan keberadaan Rabbnya. Dan ini pula yang dimaksudkan juga dengan taqwa yang menjadi tujuan inti ibadah puasa. Sebuah kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap perilaku dan gerak geriknya karena tempaan Ramadan telah membangkitkan kembali hakikat fitrahnya, yaitu bahwa ia dekat dengan Rabbnya

Maka pada bulan Syawal ini di mana puasa Ramadan baru saja beberapa hari berlalu, renungkanlah di mana posisi kita telah berada saat ini? Apakah kita sudah semakin dekat kepada Allah, ataukah keadaan kita tidak jauh berbeda ketika sebelum memasuki madrasah puasa Ramadan? Adakah kesan Ramadan dan segala ritual ibadah yang telah kita lakukan dalam Ramadan masih membekas dalam diri pada bulan Syawal ini ataukah nuansa Ramadan malah telah berbalik seratus delapan puluh derajat? Adakah Ramadan tetap membekasi kita di bulan syawal ini, bulan “idul fitri”, ketika kita kembali kepada fitrah, untuk kemudian senantiasa berbuat dan bersikap penuh kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi kita karena jarak kita telah kembali begitu dekat dengan-Nya ataukah sebaliknya kita kembali kepada rutinitas kehidupan yang semakin menjauhkan kita dari-Nya?

Seandainya kita merasa termasuk kelompok yang pertama, maka kita adalah orang yang sebenar-benarnya telah “aidin wal faizin” pada bulan syawal ini, yaitu golongan yang telah kembali kepada Allah, kembali kepada fitrah kesucian, berada dekat kepada Rabbnya. Dan kita lah orang yang sebenar-benarnya telah mencapai kemenangan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam.

2 comments:

Anonymous said...

shaum Rasulullah cuma 8 kali, mampu membentuk generasi dan peradaban cemerlang. sudah berapa kali shaum bangsa ini belum menghadirkan yang membanggakan sejarah islam.

Apanya yang salah ya

coating thickenss gauge said...

syukron ilmu nya ustadz