Kehidupan perempuan sebagai ciptaan Allah SWT ini selalu didera dengan berbagai polemik yang kurang menyenangkan. Dari persoalan private hingga public, perempuan selalu masuk dalam lingkaran wacana. Kalau boleh saya katakan dengan ungkapan lain perempuan bernasib simalakama sehingga maju kena mundur pun kena artinya serba salah. Tentu saja ini hal yang sangat tidak adil, perempuan diciptakan dari jenis yang sama dengan laki-laki sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. an-nisa': 1:
يأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة
"Wahai manusia bertakwalah pada tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari nafs yang satu" . (An-nisa': 1).
Ayat di atas mengisyarakatkan bahwa Allah Swt menciptakan makhlukNya tidak untuk mendiskriminasikan satu sama lain diantara perempuan dan laki-laki bahkan bertujuan untuk saling mengisi, saling menolong dan saling melengkapi bukan sebagai penindasan dan pelecehan satu sama lainnya. Seperti tercantum dalam ayat berikut:
يأيها الناس إنا خلقنكم من ذكر و أنثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعرفوا إن أكرمكم عند الله أتقكم إن الله عليم خبير
"Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi mengenal. (Q.S. Al-hujjurat: 13).
Adapun persoalan perempuan yang sering dimunculkan dalam permukaan diantaranya mengenai poligami, karir dan jilbab. Tiga hal ini –poligami, karir dan jilbab- merupakan persoalan yang mencuat heboh pada kehidupan modern saat ini. Dari tiga hal tersebut tulisan ini hanya akan terfokuskan pada Jilbab.
Perbincangan mengenai jilbab sudah ada sejak lama, apalagi kalau sudah dikaitkan dengan perempuan akan terasa hidup karena timbul kontroversi dari berbagai kalangan. Di sini penulis menggunakan kata jilbab untuk mengadaptasikan diri dengan kata yang dikenal bangsa Indonesia. Sementara bangsa arab untuk makna yang sama menggunakan kata hijab. Hal tersebut bukan persoalan yang esensi meskipun jika secara bahasa akan ditemukan titik perbedaan namun masyarakat sudah menyamakan makna jilbab dan hijab.
Dalam kamus arab kata jilbab berasal dari kata jalbaba mufrod dari jalabib maknanya baju panjang atau jubah. Sementara kata hijab berjamak hujub bermakna tudung atau penghalang. Jika kita memperhatikan dua kata tersebut –hijab dan jilbab- tentu berbeda, kalau jilbab itu adalah baju sedangkan hijab itu kerudung/tudung kepala, namun demikian maksud dari keduanya satu yakni menutup aurat. Sekali lagi dalam tulisan ini kata jilbab digunakan sebagai alat untuk menutup kepala dengan kata lain mengambil alih makna hijab dikarenakan bangsa Indonesia memaknainya demikian.
Wacana Jilbab dan perempuan kalau boleh diibaratkan dengan istilah ada gula ada semut maka ada jilbab ada perempuan. Mayoritas orang jika sudah membicarakan tentang aurat perempuan akan menyinggung jilbab begitu juga sebaliknya, sehingga muncul pertanyaan, apakah jilbab itu sebuah keharusan bagi perempuan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas tentunya kita sebagai muslim dikembalikan pada sumber segala sumber yakni al Qur'an. Firman Allah Swt tentang jilbab yang tercantum dalam al Qur'an adalah:
قل للمؤمنات يغضضن من أبصرهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن
« Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ». (Q.S. An-nur : 31).
Ayat tersebut menjadi dalil andalan bagi pihak yang menekankan bahwa memakai jilbab adalah sebuah kewajiban/keharusan. Lalu apakah dengan ayat tersebut tidak ada yang kontra ? Kontroversi itu alamiyah, toh Allah swt menciptakan langit dan bumi yang berposisi atas dan bawah. Kata atas berlawanan dengan bawah, jadi kalau ada yang mewajibkan maka ada juga yang akan tidak mewajibkannya. Berdasarkan asumsi tersebut, apa yang menyebabkan orang mewajibkan dan tidak mewajibkan ?
Pihak yang mewajibkan, mayoritas berdasarkan dalil-dalil agama, seperti ayat di atas merupakan dalil untuk mewajibkan pemakaian jilbab. Dan dijelaskan juga didalam Q.S.al-ahzaab:59, kurang lebih terjemahannya “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu dan putri-putrimu dan isteri-isteri orang beriman “hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka”, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
Sementara pihak kedua tidak hanya berpegangan pada dalil agama tetapi juga lebih mempertimbangkan aspek social dan budaya. Ini dapat terlihat terhadap pembacaan ayat-ayat al Qur’an di atas. Pihak pertama (mewajibkan) memaknai ayat-ayat di atas secara tekstual (sebagaimana yang tertulis). Pihak ini tidak melihat konteksnya, yang mereka tekankan bentuk dhohirnya, bagi mereka pemakaian jilbab sangat menguntungkan perempuan dalam berbagai aspek dan kondisi meskipun kondisi (konteks)nya sudah berbicara lain (tidak sesuai).
Dan cara-cara pihak ini untuk melegalkan pemakaian jilbab bagi perempuan kadang terkesan memaksa dan mengada-ada, misalnya dengan mengibaratkan perempuan dengan kue donat yang terbungkus rapat. Menurutnya, donat yang dibungkus plastik itu lebih sehat, terjaga, tidak dicolak-colek tangan-tangan yang hanya iseng tapi tak mau beli (diungkapkan ustadz jefri al buchari). Dan juga tiga alasan yang dilontarkan salah satu walikota bahwa Pertama, karena daerah itu bersuhu dingin. Dengan jilbab, perempuan-perempuan di sana tak lagi kedinginan dan masuk angin. Kedua, sejak diturunkanya perda jilbab, menurutnya, tidak terdengar lagi kasus penjambretan. Perempuan-perempuan pun tidak perlu lagi memakai perhiasan. Ketiga, pelajar putri yang selama ini tak mampu memiliki perhiasan, tidak perlu malu lagi masuk sekolah. Ungkapan ustadz jefri dan alasan walikota itu perlu dibenahi kembali, perempuan itu manusia berakal seperti halnya laki-laki maka jika memberikan argument harus rasional.
Sedangkan pihak kedua (tidak mewajibkan jilbab) pembacaannya dengan makna kontekstual, sehingga mereka berpendapat bahwa kata dzâlika adnâ an yu’rafna (supaya lebih mudah dikenal) dan fa lâ yu’dzayna (maka tidak diganggu) ini melihat situasi pada saat turunnya ayat tersebut yakni adanya kaum budak dan kaum merdeka, sehingga untuk membedakannya harus memakai jilbab. Meskipun Islam sendiri tidak mendeskriminasikan satu kaum dengan kaum yang lain akan tetapi kondisi arab saat itu memang cukup deskriminatif. Kemudian khalifah Abu bakar asshiddiq membebaskan perbudakan sehingga pada zaman sekarang tak ada perbedaan antara budak dan merdeka, kedua-duanya sama-sama manusia yang memiliki posisi sama dihadapan pencipta kecuali tingkat ketakwaannya. Dengan begitu menurut pihak kedua, pemakaian jilbab tidak lagi sebuah kewajiban atau keharusan karena untuk memuliakan perempuan bukan dalam simbolik melainkan diperlakukan manusiawi dengan memberdayakan akal budi.
Jika kita meninjau ulang dua ayat di atas, al Qur’an hanya memberikan anjuran untuk kemaslahatan umatnya jika memang perempuan tanpa jilbab itu mendapatkan ketenangan dan keamanan maka tidak harus diwajibkan untuk memakai jilbab tentunya dengan tetap menjaga busana yang sopan sesuai dengan budaya setempat. Namun sayang, perempuan selalu dijadikan penyebab ketidakamanan dan ketidaktenangan, mereka selalu menyalahkan perempuan ketika terjadi pemerkosaan dengan dalih perempuan yang tak berjilbab bahkan berpakian seksi menggugah nafsu laki-laki sehingga perempuanlah yang harus ditutup rapat agar laki-laki tidak bernafsu atau ‘nakal’. Kenapa harus perempuan yang ditutup rapat ? kenapa kaum laki-laki tidak bisa berfikir jernih dan bersih sehingga tidak muncul pikiran-pikiran kotor penyebab keluarnya nafsu ?sehingga pemerkosaan pun tidak terjadi.
Perempuan merupakan makhluk hidup yang tidak lepas dari tanggung jawabnya sebagai manusia yang berhak partisipasi dalam menjunjung kemanusian dan keadilan di dunia. Perempuan bukan hanya sebagai pelengkap laki-laki di dalam rumah tangga dan dianggap perusak ketenangan laki-laki sehingga harus ditutup rapat dengan jilbab padahal dengan jilbab tersebut perempuan tidak menemukan ketenangan dan kebebasannya. Untuk sebagian perempuan mungkin menemukan kebebasan dan ketenangan dengan jilbab tetapi bagi sebagian perempuan lain yang posisinya tidak memungkinkan untuk berjilbab karena benturan dengan sosial, budaya dan politik, apa yang harus diperbuat oleh perempuan ?
Dengan demikian, Keharusan memakai jilbab bagi perempuan dengan tanpa melihat kondisi dan aspek-aspek yang melatar belakanginya hanya akan membuat kesengsaraan dan keresahan perempuan semata. Pemakaian jilbab bukan hanya simbolik tapi harus penuh dengan kesadaran terhadap kemaslahatannya ditinjau dari berbagai aspek demi tercapainya ketenangan dan keamanan serta kebebasan perempuan. Pemahaman dan pengertian termasuk kunci kemaslahatan.